Bismillahirrahmanirrahim
Sudah dua hari ini hujan tidak pernah berhenti turun. Malam dan siang seakan tiada bedanya, selalu gelap oleh mendung yang menutupi langit. Terkadang kilat dan petir diiringi suara guntur yang memekakkan telinga mewakili kemarahan penduduk langit yang tertumpahkan kepada penduduk bumi.
Memang musim hujan tahun ini sungguh berbeda jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, air hujan turun seakan-akan tiada henti-hentinya. Di banyak tempat terjadi banjir, longsor, dan bahkan gagal panen. Para nelayan pun tidak berani pergi melaut, resiko yang mereka hadapi tidak sepadan dibandingkan hasil tangkapan.
Beberapa tahun yang lalu, banyak ahli meteorologi dan geofisika telah memperingatkan cuaca akan berubah. Untungnya Pemerintah kota tidak mengabaikan peringatan tersebut, sehingga penghuni kota tidak merasa khawatir akan dilanda bencana kelaparan. Kapasitas lumbung kota diperkirakan akan dapat mencukupi kebutuhan penduduk selama satu tahun penuh.
Demikanlah permulaan cerita kita dimulai kembali. Hujan yang turun terus menerus ditambah udara yang dingin bagaikan es menjadikan kota sangat sepi, tidak ada yang mau keluar rumah dalam cuaca ekstrim seperti ini. Warung kopi satu-satunya yang terdapat di kota juga tidak sepenuh seperti biasanya, hanya terlihat seorang kakek tua yang duduk-duduk sedang membaca koran terbitan kemarin seraya menyeruput kopi pahit khas kota ini. Sesekali ia juga menghisap cerutunya dalam-dalam, kemudian menghembuskannya kembali sambil terbatuk-batuk keras. Ah, Kakek tua! Kenapa engkau tidak berhenti saja merokok?
Sayup-sayup si kakek tua mendengar suara seperti hentakan-hentakan kaki, semakin lama suara itu semakin mendekat. Sungguh aneh, pikir si kakek tua, suara apa itu gerangan. Tidak lama kemudian, sebuah pemandangan yang hampir saja membuatnya gila berlalu tepat dihadapannya. Sepasukan rombongan kucing yang berpakaian layaknya serdadu berbaris rapi berjalan dengan membawa persenjataan serba mini. Ada yang membawa machine gun (senjata mesin), pelempar granat, M-16, dan perlengkapan militer lainnya.
Si kakek tua hanya terpaku melihat kucing-kucing tentara ini, sampai beberapa lama setelah kucing-kucing itu hilang dari pandangannya, ia masih diam mematung. Aneh bin Ajaib, tentu saja hal inilah yang pertama kali dipikirkan oleh si kakek tua. Namun sesuai dengan usianya yang telah lanjut, dia mencoba bersikap bijaksana.
“Aduh, mata dan telingaku memang sudah tidak beres lagi! Ini gara-gara aku kebanyakan menonton kartun Tom & Jerry ketika kecil dulu, sekarang aku jadi membayangkan hal-hal yang aneh.” Dia kembali menyeruput kopinya, berharap semoga semua itu hanyalah khayalannya semata.
Di sudut kota lainnya…
“Apa? Budi ada di sana?”
“Benar Komandan.”
“Tidak bisa dibiarkan, dia bisa saja membocorkan kelemahan-kelemahan kita kepada musuh?”
“Ayah, untuk apa kita takut? Dan kelemahan apa lagi yang kita miliki?”
“Dasar anak bodoh! Jangan pernah menyepelekan musuh dan menganggap diri paling kuat. Tiada seorangpun yang tidak mempunyai kelemahan. Ingatlah! Di atas langit masih ada langit!”
“Ma’afkan aku ayahanda!”
“Tapi bukankah yang dikatakan tuan muda tadi ada benarnya, kelemahan apa yang kita miliki?”
“Panglima Satu, kelemahan terbesar yang kita miliki di samping kelemahan-kelemahan lainnya adalah kita tidak mengetahui kekuatan dan kelemahan musuh. Sungguh aneh, bahkan pasukan terlatih kita tidak mampu memperoleh informasi yang lebih. Itu membuktikan lawan kita kali ini tidak dapat dipandang sebelah mata.”
“Ya, sedangkan di pihak mereka terdapat Budi.”
“Nah, itu dia Panglima Satu!”
Sang komandan sejak tadi terlihat gelisah berjalan mondar-mandir ke sana ke mari. Padahal biasanya dia adalah sesosok kucing yang selalu yakin dan tenang dalam melakukan segala sesuatu. Tiba-tiba kucing putih kecil bertanya kepadanya, “Ayah, siapakah sebenarnya Budi yang kalian berdua bicarakan?”
“Dia adalah prajurit terbaik dari pasukan khusus kita. Seekor kucing yang berbakat sepertimu, bahkan sangat mirip denganmu.” Sahut Panglima Satu sambil tersenyum.
“Lho, jadi kenapa kita mengkhawatirkan dia?”
“Karena dia adalah pengkhianat!” Jawab komandan kucing jalanan dengan keras. Raut wajahnya memperlihatkan kebencian yang amat sangat. Bagaimana tidak? Seekor kucing yang melarikan diri karena diduga membunuh guru besar kemudian menghilang, dan tiba-tiba saja muncul di pihak musuh.
“Komandan, kita tidak dapat menuduhnya seperti itu. Belum terbukti dia yang melakukannya!”
“Panglima Satu, keberadaannya di pihak musuh adalah buktinya! Puteh, Pimpin kawan-kawanmu ke bukit di belakang sekolah! Aku mempunyai firasat yang aneh tentang bukit itu.”
“Siap laksanakan ayahanda!”
Kucing putih kecil itu segera meninggalkan ruangan. Hatinya sangat senang karena ia diberi kepercayaan untuk menjalankan sebuah misi. Dia melesat menuju komplek asrama akademi keprajuritan kucing jalanan, tanpa butuh waktu lama ia telah mengumpulkan sekelompok kecil pasukan yang terdiri dari kucing-kucing yang sebaya dengan dirinya. Pasukan ini dibentuk atas inisiatifnya sendiri setahun yang lalu, di bawah bimbingan Panglima Satu yang mendidik mereka dengan keras, menjadikan pasukan ini tidak berada di bawah pasukan senior lainnya. Mereka juga yang akan menjadi generasi penerus pasukan khusus kucing jalanan nantinya.
“Siap Grak! Lancang Kanan Grak!”
“Maju Jalan! Hahaha… Ada apa engkau memanggil kami? Apakah ada latihan mendadak hari ini?”
“Hehe, bukan hanya sekedar latihan. Tapi kita akan menjalankan sebuah misi sungguh-sungguhan!”
“Wow, benarkah? Misi yang beratkah?”
“Tidak untuk saat ini. Kita hanya diperintahkan untuk memantau bukit di belakang akademi.”
“Yah, tidak seru!”
“Tapi aku yakin ayah akan memberikan tugas yang lebih berat kepada kita lain kali. Oke teman-teman, segera bersiap-siap, 10 menit lagi kita berkumpul di tempat ini!”
“Ya Pak Komandan!”
Mereka berpencar, tapi sebentar kemudian mereka telah berkumpul kembali dengan seragam militer ala kucing jalanan. Pakaian mereka seperti model pakaian ringkas prajurit-prajurit cina kuno tempo dulu. Dengan warna yang serba hitam, sangat cocok untuk tugas mengintai. Hanya saja mereka semua masih kecil, sehingga tidak segagah kucing-kucing dewasa yang memakai seragam yang sama.
“Baiklah kawan-kawan, sekarang kita berbagi tugas. Andi dan Kimang selidiki bukit bagian timur, Jayus dan Nujum di bagian utara! Dan aku sendiri akan mengambil jalan memutar”
“Mengapa kita tidak pergi bersama?” tanya salah seekor kucing yang berbadan paling kurus diantara mereka semua. Kimang namanya.
“Ayahku mengatakan dia mempunyai firasat buruk tentang bukit itu. Aku mengambil kesimpulan bahwa bisa saja di bukit itu terdapat mata-mata musuh atau kegiatan mereka lainnya, oleh karena itu kita bergerak ke sana secara diam-diam.”
“Ya, engkau benar. Kalau begitu, ayo berangkat!” Kata seekor kucing lainnya yang mempunyai bulu kuning kemerah-merahan dengan sedikit bercak hitam di sekitar wajahnya. Inilah Nujum, yang paling bersemangat di antara mereka.
“Ayo……!!!!”
Maka berangkatlah mereka secara berpencar. Sebagai kode untuk berkomunikasi mereka sepakat menggunakan tiruan suara kera dengan sandi khusus, mengingat suara kera di hutan bukanlah hal yang janggal sehingga tidak akan menimbulkan kecurigaan dari musuh.
Puteh, Andi, Kimang, Jayus, dan Nujum…
Apa yang akan mereka dapati di bukit belakang sekolah tersebut?
Bersambung…
No comments:
Post a Comment