Friday, 23 December 2011

Balada Pendekar Kucing di Tengah Kota #4

Bismillahirrahmanirrahim…

Banyak orang memprediksikan malam ini akan terjadi badai. Sejak sore tadi langit terlihat mendung, anginnya terasa begitu dingin merasuk tulang. Lampu jalanan telah menyala, tidak terlihat seorangpun yang keluar. Semua pintu rumah tertutup rapat, bahkan sebuah kedai minuman yang biasanya ramai pun kelihatan sepi.

Sayup-sayup terdengar suara dencingan senjata di sebuah rumah tua yang telah lama ditinggalkan pemiliknya beberapa tahun yang lalu. Puluhan kucing memenuhi aula rumah tersebut. Ternyata kucing jalanan memafaatkan keadaan yang sunyi ini untuk berlatih dengan serius, ada yang berlatih pertarungan senjata yaitu pedang dan panah. Ada pula yang berlatih pertarungan tangan kosong.

Senjata-senjata yang dipergunakan oleh kucing-kucing ini agak berbeda dengan senjata-senjata yang digunakan oleh manusia, walau fungsinya tetap sama. Pedang mereka adalah potongan besi yang juga menyerupai pedang, namun pedang tersebut dibuat sedemikian rupa pada kaki depan mereka menyerupai seperti cakar yang panjang, dapat keluar-masuk juga seperti cakar kucing lainnya. Adapun panah mereka lebih menyerupai cakar-cakar yang dapat terbang.

Seekor kucing belang besar mengawasi latihan mereka, perhatiannya tertuju kepada seekor kucing yang sedang berlatih pedang. Kucing itu masih muda, bahkan dapat dikatakan kecil. Bulunya putih bersih, kucing ini sebenarnya sama sekali tidak mirip dengan tampang kucing jalanan. Namun begitu, ketangkasannya dalam memainkan pedang cakarnya tidak kalah dengan kucing-kucing jalanan lainnya yang sudah berpengalaman.

“Tuan Muda, mengapa anda ikut berlatih?” tegur si kucing belang kepada kucing putih.

“Oh, aku tidak ingin hanya duduk diam saja Paman.”

“Tapi Tuan Muda masih terlalu kecil untuk ikut.”

“Paman, mengapa engkau berkata begitu? Apakah engkau menganggapku tidak pantas, kutantang engkau bertarung denganku Paman. Untuk membuktikan pantas tidaknya aku ikut.” Serunya marah. Kucing putih ini memang cepat emosi, juga sedikit sombong, mengingat bahwa ia adalah putra pemimpin kucing jalanan.

“Ah, tidak demikian. Kalau Komandan memang sudah setuju, aku siap mempertaruhkan nyawaku untukmu.”

“Baguslah kalau begitu, Paman ingin menemaniku berlatih?”

“Baiklah. Dengan pedang atau tangan kosong?”

“Pedang.”

Singgg…. Pedang cakar dikeluarkan, keduanya berhadapan dan berdiri dengan dua kaki belakang siap untuk bertarung. Bagaikan dikomando, kucing-kucing lainnya segera mengerubungi sekeliling mereka untuk melihat latihan duel itu. Masing-masing menyemangati jagoannya.

Kucing belang melakukan jurus pembukaan. Kaki depannya yang sekarang menjadi tangan layaknya manusia melakukan gerakan melingkar, melakukan gerak menyembah ke langit. Satu kaki belakangnya ditarik ke depan, badan ditekuk. Kemudian tiba-tiba secara cepat tangannya dihujamkan ke atas lantai. Keramik yang melapisi lantai tersebut retak disebabkan tenaga kucing belang.

Para kucing yang menjagokannya berteriak senang, “Hidup Panglima!”

“Hahaha, kuterima penyembahanmu Paman.” Seru kucing putih seraya tangannya seakan-akan menerima suatu benda dari depan. Selanjutnya diteruskan dengan gerakan “awan putih melindungi langit”. Ia berdiri dengan satu kaki, tangannya ditarik melebar ke samping, pergelangan ditekuk mirip dengan seekor burung.

“Hmm, bagus. Awas serangan!” kucing belang menyerang kucing putih dengan cepat. Pedangnya  bergerak lurus mengincar dada kucing  putih. Aneh, kucing putih tidak bergerak sama sekali. Ia hanya berdiri dengan posisi tadi menatap pedang yang sedang meluncur ke arahnya. Kucing belang menjadi ragu, namun dengan jarak serangannya yang sudah sangat dekat, tidak mungkin lagi untuk menarik serangan. Ia hanya dapat mengurangi tenaganya sedapat mungkin. Semua penonton pun menjadi tegang  dibuatnya.

Hupp… Ketika ujung pedang hampir menempel di dada kucing putih, dengan sebuah lompatan ringan ia melompat ke belakang tanpa merubah posisinya. Pedang terus meluncur ke depan dan berhenti tepat dua senti di depannya. Suasana hening sejenak, siapa yang menyangka kucing putih berbuat senekad itu menerima serangan.

“Tuan Muda, apa yang kau lakukan?” Kucing belang marah.

“Hahaha, Itulah jurus pembukaku yang sebenarnya Paman.”

“Kau memang seekor kucing aktor yang payah. Jangan pernah melakukan itu lagi, di lain kesempatan aku tidak akan ragu-ragu lagi.”

“Tenanglah Paman, just kidding.” Setelah mengatakan itu kucing putih segera menyerang kucing  belang dengan sungguh-sungguh. Barulah duel yang sebenarnya berlangsung. Penonton sibuk memberi semangat, tidak ada yang  menyadari sebuah bayangan gelap menyusup masuk di antara mereka.

“Lapor! Kumbang Dua datang menghadap Panglima Besar.” Seekor kucing hitam tiba-tiba saja berada di tengah arena duel mengejutkan kucing lainnya. Pertarungan dihentikan, kucing belang datang menghampiri kucing hitam tersebut.

“Panglima Besar sedang tidak ada, Panglima Satu yang bertanggung jawab.”

“Kumbang Dua melaporkan kondisi musuh, tidak ada kegiatan yang mencolok dari musuh. Bahkan tidak ada tanda-tanda mereka berlatih tarung. Namun demikian tadi sore seorang anggota kami melaporkan bahwa kucing rumahan memasukkan banyak peti besar ke markas mereka.”

“Peti-peti besar? Apa isinya?”

“Belum terindentifikasi, namun kami terus berusaha melacaknya.”
“Bagus, ada hal lain yang ingin engkau laporkan?”

“Ada satu lagi. Di markas kucing rumahan terlihat Budi.”

“Budi….?” Kucing belang benar-benar terkejut mendengarnya, entah ekspresi apa yang terbayang di wajahnya. Sedih, geram, dan gembira bercampur menjadi satu, membuat raut wajahnya kelihatan benar-benar aneh.

“Paman, ada apa dengan Budi? Mengapa engkau kelihatan terkejut?” tanya kucing putih yang  memang masih muda tadi.

“Kumbang Dua…!”

“Siap!”

“Lanjutkan penyelidikan!”

“Laksanakan.” Kabut asap menyelimuti kucing hitam, yang ternyata merupakan salah seekor anggota pasukan khusus kucing jalanan, dan kemudian menghilang bersama hilangnya kabut asap.

“Seluruhnya, lanjutkan latihan kalian. Aku akan menghadap Panglima Besar.”

“Siap, Laksanakan.”

Suara dencingan senjata-senjata yang beradu kembali terdengar. Kucing belang segera keluar ruangan, diikuti oleh kucing putih yang penasaran. Hatinya penuh dengan tanda tanya. Siapakah Budi yang dilaporkan oleh anggota pasukan khusus tadi? Ada hubungan apa antara Budi dengan Panglima Satu? Apakah Budi itu orang penting? Kawan atau lawan?


To be continued…

No comments: