Friday, 23 December 2011

Pendidikan Di Aceh



Aceh, sebuah provinsi di ujung barat pulau Sumatra. Dikenal pula dengan sebutan serambi mekah, tempat di mana ulama-ulama besar pernah dilahirkan. Aceh dahulunya juga merupakan pusat penyebaran agama Islam pertama di Nusantara. Kerajaan Islam pertama di Nusantara didirikan di daerah ini, yaitu Kerajaan Samudra Pasai.

Pendidikan di Masa Kerajaan Aceh Darussalam
            Pada masa-masa kerajaan Islam dahulu, pendidikan yang berlaku adalah pendidikan yang berdasarkan Agama Islam. Anak-anak dididik oleh orang tuanya, baik langsung oleh ibu-bapaknya atau diserahkan untuk belajar di bawah bimbingan seorang guru di masjid atau meunasah (surau). Meunasah terdapat di setiap desa di Aceh, fungsinya selain sebagai pusat peribadatan, juga sebagai tempat pendidikan dan kegiatan-kegiatan sosial masyarakat.
            Selain di meunasah, ada pula pesantren-pesantren atau yang lebih dikenal dengan sebutan dayah didirikan untuk mempelajari ilmu-ilmu agama secara lebih mendalam. Biasanya pendidikan di meunasah adalah tingkat dasar, dan selanjutnya para santri atau murid memperdalamnya di pesantren-pesantren. Sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar, meunasah memiliki sistem pembelajaran di mana kurikulumnya lebih difokuskan pada penguasaan bacaan al-Qur'an dan pengetahuan dasar agama.
            Banyak ulama-ulama yang hidup pada masa-masa tersebut, di antaranya Teungku Abdurrauf As-Singkili atau Syiah Kuala, namanya diabadikan pada sebuah perguruan tinggi di Aceh yaitu Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Syaikh Nuruddin Ar-Raniry, diabadikan pada nama Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry. Hamzah Fanshuri dan  Syamsuddin As-Sumatrani yang dikenal sebagai tokoh sufi serta tokoh-tokoh ulama lainnya.

Pendidikan di Masa Penjajahan Belanda
            Hal ini terus berlangsung dari abad ke abad sampai dengan kedatangan Belanda ke Aceh. Oleh Belanda, untuk menarik simpati rakyat Aceh dan mengendalikan mereka maka didirikanlah sekolah-sekolah umum yang berbeda jauh dari sistem pendidikan baik di meunasah maupun di pesantren yang berlandaskan pelajaran Agama Islam. Di sekolah-ini diajarkan pengetahuan-pengetahuan umum seperti matematika, ilmu bumi, bahasa Belanda, dan sebagainya. Sedangkan mata pelajaran Agama ditiadakan. Sekolah-sekolah ini berupaya agar rakyat Aceh, terutama para pembesarnya, menjadi loyal terhadap Pemerintah Belanda.
            Sekolah yang didirikan oleh Belanda juga terdiri dari beberapa tingkatan, dimulai dari tingkat dasar yang disebut dengan Sekolah Rakyat (HIS), kemudian bagi yang memiliki kemampuan melanjutkan ke Sekolah Menengah/Lanjutan (MULO). Tingkat selanjutnya adalah Sekolah Tinggi, pada masa itu untuk daerah Sumatra hanya terdapat di Bukit Tinggi. Sangat sedikit putra Aceh yang memasuki sekolah-sekolah Belanda apalagi melanjutkan ke Sekolah Tinggi. Ini disebabkan oleh larangan keras dari ulama untuk belajar di lembaga pendidikan Belanda, bahwa haram hukumnya belajar di sekolah yang didirikan oleh orang-orang Kafir.
            Pesantren-pesantren sangat dikekang oleh pemerintah Belanda, dikarenakan pesantren selain sebagai pusat pendidikan Islam juga sebagai basis perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda.
            Dapat dikatakan pendidikan di Aceh setelah kedatangan Belanda mengalami kemunduran. Lembaga pendidikan Islam yang dahulunya maju pesat terhambat oleh perang, pendidikan tidak lagi difokuskan untuk mengkaji ilmu-ilmu pengetahuan, namun lebih diutamakan untuk membentuk penjuang-pejuang yang tangguh. Selain itu pula, pesantren-pesantren yang  ada berada di lokasi yang sangat tersembunyi dikarenakan tekanan dari Belanda. Adapun lembaga pendidikan umum yang didirikan oleh Belanda juga tidak berjalan lancar, kebencian rakyat Aceh terhadap Belanda ditambah seruan pengharaman lembaga pendidikan ini oleh para ulama menjadikan pendidikan Belanda ini juga tidak berhasil dengan baik.
            Baru sekitar tahun 1920, sedikit demi sedikit pendidikan Aceh mulai bangkit. Pada priode ini kebangkitan pendidikan tampak dari berdirinya Perguruan-Perguruan Islam non pesantren. Di antaranya Perguruan Thawalib di Aceh Selatan yang dipelopori oleh H. Jalaluddin Thaib, Perguruan Muhammadiyah dan Perguruan Nasional Taman Siswa yang didirikan oleh beberapa tokoh pergerakan dari daerah lain yang diasingkan ke Aceh seperti R. Moerdani, Ayah A. Gani, Ayah Marah Adham Hasibuan.
            Ulama-ulama Aceh pun tidak ketinggalan, di daerah Aceh Besar didirikan Perguruan Agama di Masjid Raya di bawah pimpinan Teuku Syekh Saman, Tuanku Abdul Aziz dan Teuku M. Saleh Lambhok.
            Kemudian pada era 1930-an, kebangkitan pendidikan semakin tampak. Kebangkitan ini dipelopori oleh para mubaligh-mubaligh Aceh yang memberi kesadaran kepada masyarakat akan ketertinggalan mereka hampir di segala bidang. Lalu di mana-mana timbul usaha membangun rumah pendidikan. Sekolah agama tidak hanya mengajarkan pengetahuan agama Islam semata, namun juga diajarkan pengetahuan umum lainnya. Di antaranya muncullah Madrasah Almuslim di Bireun oleh Teuku Haji Cik Peusangan, Al-Jamiyyatuddiniyyah di Sigli oleh Teuku Muhammad Daud Beureueh, Perguruan Al-Irsyad di Lhokseumawe di bawah pimpinan Teuku Muhammad Hasbi Ahs-Shiddiq, dan lain-lain.

Pendidikan di Masa Pendudukan Jepang
            Selanjutnya pada tahun 1942 Jepang mulai masuk ke Aceh setelah mengalahkan Belanda. Kedatangan Jepang tentu saja ikut merubah bentuk dan sistem pendidikan di Aceh. Walaupun demikian,  tujuannya tetap sama dengan sekolah-sekolah Belanda, yaitu untuk membuat rakyat Aceh loyal terhadap pemerintah penjajah. Beberapa kurikulum sekolah Belanda diganti oleh Jepang, misalnya pendidikan Bahasa Belanda diganti dengan Bahasa Jepang,  nyanyian-nyanyian pujian terhadap kekaisaran Jepang juga dimasukkan sebagai pata pelajaran wajib di sekolah. Sedangkan Perguruan Taman Siswa dan Muhammadiyah tidak berjalan lagi ketika itu. Sekolah agama lainnya masih berjalan seperti biasa, walaupun diawasi dengan ketat oleh Pemerintah Jepang. Pada priode pendudukan Jepang, kualitas pendidikan di Aceh kembali menurun disebabkan kondisi perang yang diciptakan Jepang.

Pendidikan di Masa Pasca Kemerdekaan
            Setelah kemerdekaan, sekolah-sekolah agama yang dulunya berdiri sendiri mulai dinegerikan di bawah Departemen Agama dan Departemen Pendidikan. Pendidikan keagamaan mulai dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah umum, dan sebaliknya pendidikan pengetahuan umum dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah agama.
            Pada tahun 1956, muncul inisiatif untuk membangun kota pelajar/mahasiswa Darussalam, sebagai Pusat Pendidikan di Aceh. Diresmikan pada tahun 1959 oleh Presiden RI. Dalam perkembangan selanjutnya, Aceh memiliki dua perguruan tinggi negeri, yaitu: Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry. Selain itu terdapat pula jenjang-jenjang pendidikan lainnya seperti Taman Kanak-Kanak (TK), SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, ST, SKP, SMEP, SMEA, SGKP, SMI, SMIA, PGA, dan sebagainya.
            Sampai masa orde baru dan reformasi, pendidikan di Aceh terus mengalami pasang surut, terutama ketika terjadinya perang yang berkepanjangan antara Pemerintah RI dan GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Kondisi yang tidak kondusif seringkali menimbulkan keresahan masyarakat dan pendidikan di sekolah-sekolah tidak berjalan dengan lancar. Para guru dan murid merasa takut untuk sekolah. Ada pula sekolah-sekolah yang dijadikan markas sementara oleh kedua pasukan, baik TNI maupun GAM. Bahkan pada tahun 2000-an, saat terjadinya DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh, pendidikan-pendidikan kepanduan seperti pramuka tidak berjalan lagi.
            Desember 2004, Aceh dan sebagian wilayah Asia Tenggara terkena tsunami yang menghancurkan banyak infrakstruktur-infrastuktur pendidikan di Aceh khususnya. Namun kejadian itu membawa dampak positif juga, setelah terjadinya peristiwa naas tersebut tercapailah kesepakatan damai di daerah yang penuh dengan konflik ini. Pendidikan pun ikut membaik, ditambah pula dengan bantuan-bantuan dari negara-negara asing yang turut serta memperbaiki infrastruktur-infrastruktur yang hancur oleh tsunami. Peluang beasiswa-beasiswa untuk belajar ke luar negeri ke daerah Eropa khususnya terbuka lebar untuk putra-putra Aceh. Hanya saja pendidikan di Aceh tetap saja tidak terlepas dari korupsi, penyalahgunaan dana pendidikan yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu.
            Selain itu, masih ada pula daerah-daerah pedalaman yang tertinggal dalam hal pendidikan.  Beberapa sebab di antaranya ialah medan untuk menuju ke tempat tersebut sangat sulit, ataupun masyarakat sekitar masih meremehkan pentingnya pendidikan dalam kehidupan mereka.
            Sebelum mengakhiri tulisan ini,  penulis menampilkan sebuah pertanyaan yang pernah menjadi bahan diskusi dalam mata Kuliah Perkembangan Pemikiran Islam di Aceh di Fakultas Usuluddin IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, “Mengapa pendidikan di Aceh tidak terlepas daripada KKN?” Sebenarnya bukan hanya di bidang pendidikan saja, bahkan di sektor pemerintahannya sendiri pun tidak terlepas dari KKN. Salah satu penyebabnya ialah dikarenakan tidak adanya aturan hukum yang tegas dalam menangani masalah KKN ini, bisa jadi pula ini disebabkan karena kurangnya ilmu pengetahuan dan keyakinan terhadap agama Islam sehingga menimbulkan kehancuran moral di kalangan pemimpin serta rakyatnya. Sedangkan para ulama dari hari ke hari sepertinya makin tidak peduli dengan KKN, belum muncul reaksi serius dari golongan ulama terhadap masalah ini, padahal jika ulama bersatu dengan rakyat menghadapinya sesuai dengan tuntunan syari’at Islam maka tidak mustahil masalah ini dapat diatasi.
            Solusi yang sering dijumpai dari masyarakat umum, untuk mengatasi masalah dekadensi moralitas (termasuk KKN) ini ialah “kita harus kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits.” Segala aspek kehidupan kembali lagi dilaksanakan sesuai dengan perintah Al-Quran dan ajaran Rasulullah Saw., namun sayangnya sampai saat ini realisasi atau praktek dari solusi tersebut belum tampak di dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi walau bagaimanapun juga, kita selalu berdo’a dan berusaha agar solusi tersebut terwujud, dimulai dari individu kita masing-masing dan orang-orang terdekat kita untuk meningkatkan pengetahuan dan pengamalan ilmu agama Islam.


DAFTAR PUSTAKA


Ibrahim, A. Madjid, dkk. Aceh Bunga Rampai. Banda Aceh: Tanpa Penerbit. (tt)


http://www.scribd.com/doc/47813249/pendidikan-di-aceh (diakses pada tanggal 9 April 2011)

Diskusi Mata Kuliah Perkembangan Pemikiran Islam di Aceh. Dosen Pembimbing: Fuad Ismail. Fakultas Ushuluddin, IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. (tanggal  9 Mei 2011)

Kepemimpinan

Bismillahirrahmanirrahim. . .

Segala puji kita panjatkan kehadirat Allah Swt, yang telah menurunkan petunjuk kepada Nabiyullah Muhammad Saw, Al-Quranul Karim yang senantiasa menjadi pedoman kita sampai akhir zaman. Shalawat beriringkan salam mari kita panjatkan ke pangkuan Nabi Muhammad Saw, yang telah menegakkan kalimatul Haq di atas permukaan bumi ini, melewati masa-masa perjuangan yang sulit bersama keluarga dan sahabat-sahabatnya, paduan antara ketegasan dan kelembutan Nabi akhir zaman ini menjadikan ia sebagai sosok yang disegani baik oleh kawan maupun lawan.

Kepemimpinan dalam sebuah kelompok diibaratkan sama dengan fungsi kepala pada tubuh. Sebuah tubuh tanpa kepala dianggap sebagai mayat, demikian pula dengan suatu kelompok tanpa ada kepemimpinan, tidak memiliki suatu kekuatan yang berarti.

Setiap kepala pasti memiliki mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, hidung untuk mencium, mulut untuk berbicara dan makan, serta otak untuk berpikir. Inilah sebuah struktur standar dari sebuah kepala, keempat indra pertama yang disebutkan mempunyai fungsi utama sebagai input, kecuali mulut, selain berfungsi sebagai input, dia juga dapat berfungsi sebagai output.

Pemimpin harus melatih kepekaan terhadap apa yang ada di sekitarnya, belajar melihat situasi, belajar mendengarkan banyak informasi, dan belajar mencium sesuatu yang tak terlihat oleh mata dan tak terdengar oleh telinga. Kepemimpinan juga harus mempunyai fungsi seperti mulut yang digunakan untuk menyuplai makanan yang dapat dicerna oleh perut sebagai energi bagi anggota tubuh lainnya dalam beraktifitas, maka pemimpin harus dapat mengobarkan semangat bagi kelompok sebagai energi mereka dalam melakukan pergerakan.

Adapun fungsi dari otak ialah sebagai prosesor, tempat menerima, menampung, menyeleksi, dan mengatur masukan-masukan yang didapatkan. Masukan yang didapat berasal dari input utama yang dimiliki oleh pemimpin sendiri, kemudian selanjutnya berasal dari seluruh anggota kelompok yang ikut memberikan masukan. Sebagaimana kerja otak yang menerima masukan dari seluruh tubuhnya melalui jaringan-jaringan saraf, otak lebih mengutamakan masukan yang penting dan dibutuhkan oleh tubuh untuk diproses dan kemudian memberikan perintah lagi melalui jaringan saraf kepada anggota tubuh lainnya. Untuk itu, dalam sebuah kelompok dibutuhkan jaringan komunikasi yang baik sebagaimana jaringan saraf dalam tubuh.

Input dari anggota tubuh lainnya yang sangat dibutuhkan oleh otak adalah input yang berasal dari perut. Dikarenakan perut inilah yang menyuplai energi ke seluruh anggota tubuh, bahkan termasuk ke otak. Sedangkan dalam organisasi, perut ini adalah bendahara yang mengetahui keluar masuknya dana di kas suatu kelompok (jika ada, dalam suatu kelompok kecil biasanya ketua/wakil ketua merangkap sebagai bendahara).

Dalam tahap ini, tugas sebuah kepemimpinan memang terasa berat. Terkadang dibutuhkan lebih dari satu orang agar memenuhi keseluruhan tugas dan fungsi kepemimpinan. Maka dari itu dalam kepemimpinan sebagian kelompok, selain Ketua Umum kita juga mengenal adanya beberapa wakil Ketua serta ketua-ketua bidang yang ikut membantu Ketua umum dalam melaksanakan tugas kepemimpinan.

Kelompok yang besar membutuhkan tangung jawab kepemimpinan yang besar pula. Besar di sini tidak hanya diartikan dari segi jumlah anggota, namun juga dari segi kemajemukan anggota-anggota yang ikut terlibat dalam kelompok tersebut. Semakin banyak kemajemukan/perbedaan (baik dari segi latar belakang, kecendrungan, bakat, keilmuan, dll yang dimiliki oleh masing-masing anggota) yang terdapat dalam kelompok, juga turut menjadi pertimbangan. Kepemimpinan yang baik, mampu me-manage  semua kemajemukan itu  menjadi sebuah kesatuan tunggal untuk mencapai tujuan bersama.

Sebagai manusia biasa, terkadang otak kita juga mengalami hambatan dalam berpikir karena berbagai faktor, baik internal maupun eksternal.  Ketika itu kita akan membutuhkan banyak saran serta masukan dari orang yang kita percayai. Begitu pula di saat kepemimpinan dalam satu kelompok kewalahan menjalankan tugasnya dengan baik, kepemimpinan juga membutuhkan masukan dan saran untuk mengatasi masalahnya itu, maka di sini kita akan mengenal lebih lanjut yang dinamakan dengan dewan pembina atau dewan penasehat. Mereka terdiri dari orang-orang yang bijaksana dan kaya dengan pengalaman dari berbagai bidang. Merekalah yang dijadikan sandaran oleh para pimpinan kelompok di saat kelompok sedang mengalami masalah-masalah yang sulit dipecahkan.

Demikianlah pembahasan kita di kali pertama ini mengenai rubrik organisasi, yakni seputar masalah-masalah mendasar tentang organisasi. Semoga Allah memberikan kita keistiqamahan dalam menjalankan kebaikan-kebaikan, meluruskan niat  kita untuk menggapai Ridha-Nya, serta menjauhkan kita semua daripada bisikan syaitan dan hawa nafsu.

Islam dan Pluralisme

Kata Plural berasal dari bahasa Inggris yang berarti jamak, lebih dari satu.  Sedangkan Isme berasal dari bahasa Yunani yang berarti paham, ajaran, atau kepercayaan. Adapun Pluralisme dikaitkan dengan agama mempunyai pengertian “suatu situasi dimana bermacam-macam agama hidup dan saling menghargai dilandasi oleh paham bahwa semua agama mengajarkan kebenaran, dan tidak boleh mengklaim satu agama saja yang benar, sedangkan yang lainnya salah.” 

Menurut paham ini semua agama itu benar. Bukankah setiap agama mengajarkan manusia agar berbuat bajik, adil, cinta kasih, dan mempercayai akan adanya suatu kekuasaan yang menguasai alam dan jagad raya ini, dan manusia harus tunduk patuh terhadap kekuasan itu? Dimulai dari agama Yahudi, Nashrani, Islam, Hindu, Budha dan lain-lain, semuanya mengacu pada satu tujuan, yaitu Tuhan dan kehidupan setelah kematian.

Konsep kesatuan inilah yang sering ditanamkan oleh pendukung paham ini dalam menjelaskan semua agama itu benar. Sebagaimana kata pepatah yang masyhur, “Banyak jalan menuju Roma”.  Oleh karena itu muncullah istilah populer dalam prulalisme “Banyak Jalan menuju Tuhan.”




 “Hmm, masuk akal juga ya!”


Bukankah banyak jalan menuju Roma, mengapa cuma satu jalan saja yang dibolehkan lewat untuk sampai ke situ? Bukankah setiap orang berhak menempuh jalan yang disukainya. Tuhan dan agama juga demikian. Kita semua percaya dan menyembah Tuhan, cuma caranya saja yang berbeda-beda. Umat Islam menyembah Tuhan mereka dengan shalat, Kristiani melakukan Misa di Gereja, Umat Budha melakukan sembahyang di vihara-vihara dan umat-umat beragama lainnya memiliki tata cara peribadatan masing-masing, dan bukankah semua itu ditujukan kepada Tuhan. Jadi pada dasarnya kita itu semuanya sama, semuanya benar. Mudah kan? Pasti karena paham ini tidak diketahui oleh orang-orang awam makanya dari jaman dahulu sampai sekarang sering terjadi konfilk antar agama.

“Eit, tapi tunggu dulu!!! Tunggu Sebentar!”

Apakah semua Tuhan yang dituju itu adalah Tuhan yang sama?  Ataukah walaupun namanya sama-sama Tuhan, tapi Tuhan yang dimaksudkan oleh masing-masing agama itu sendiri berbeda-beda?

Ada sebuah cerita tentang lelaki udik yang bernama Udin hendak pergi ke rumah kawannya di Jakarta, kata kawannya dia tinggal di Mangga Dua, tapi Mangga Dua di mana Udin belum tahu. Sesampainya di kota, berkali-kali Udin mencoba menghubungi kawannya tapi nomornya tidak aktif. Akhirnya dapatlah sebuah informasi Mangga Dua itu adalah nama desa terpencil di pinggiran kota Jakarta, tanpa pikir panjang Udin segera menuju tempat yang disebut. Setelah tersesat ke sana ke mari, bertanya ke mana-mana, akhirnya sampailah ia ke desa Mangga Dua setelah menempuh setengah hari perjalanan. Akan tetapi kemudian baru diketahuinya bahwa Mangga Dua yang dimaksudkan kawannya bukanlah desa tersebut, melainkan sebuah kompleks perumahan yang terletak di pusat kota.

Nama boleh sama, tapi apakah eksistensinya juga sama? Apakah Tuhan yang disembah oleh Muslim sama dengan Tuhan yang disembah oleh Kristiani, Yahudi, Budha, atau Hindu?

Konsep Tauhid dalam Islam jelas menegaskan bahwa “Tiada Tuhan selain Allah”. Allah itu Esa tiada berbilang, tempat bergantung segala urusan, tidak beranak lagi diperanakkan, dan tiada suatu apapun yang meyerupaiNya, baik dari segi zat, sifat, perbuatan ataupun kekuasaanNya. Lalu  bagaimana dengan Kristiani yang membagi Keesaan Tuhan menjadi tiga kesatuan (Trinitas), dengan kata lain Tuhan sudah tidak Esa lagi, atau kaum Yahudi? Walaupun mereka masih mengakui Tuhan yang Esa tapi dalam prakteknya Al-Quran menjelaskan kepada kita mereka telah banyak melenceng dari ajaran agama mereka sendiri, mengingkari otoritas perintah Tuhan dan sebagainya. Apalagi agama Hindu dan Budha, walaupun diketemukan dalam kitab-kitab suci masing-masing agama mengakui Keesaan Tuhan, tapi dalam praktek agama tidak demikian, mereka terjebak kepada polytheisme (menyembah banyak Tuhan). Zoroaster menyembah Api, bukan Allah. Konghucu menyembah arwah nenek moyang dan dewa-dewa. Apakah semua konsep Tuhan yang ditawarkan oleh agama-agama tersebut dapat diterima dalam Islam? Dan sebaliknya, apakah konsep Tuhan dalam Islam dapat diterima oleh yang lainnya?

Semua agama pada dasarnya mengakui ajaran agama berasal dari Tuhan. Jadi kebajikan, cinta kasih, keadilan dan semua ajaran yang mengajarkan kebaikan itu berasal dari Tuhan. Kembali menjadi pertanyaan, apakah semua ajaran agama sama, padahal Tuhan yang mengajarkannya berbeda-beda? Karena dari awalnya tujuan masing-masing agama itu telah berbeda, tentu saja jalannya juga berbeda, walau terkadang masing-masing agama itu memiliki titik persimpang yang sama di beberapa tempat.

“Kalo begitu memang hanya ada satu jalan menuju Tuhan?”

Yupz, setiap agama yang telah kita sebutkan di atas akan mengklaim bahwa hanya agamanyalah jalan yang benar menuju Tuhan. Islam mengakui hal itu, Allah menegaskan dalam Al-Quran surat Ali Imran ayat 19:

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.”

“Jika sudah jelas demikian, kenapa masih saja ada orang yang mendukung pluralisme ini ya?”

Dari jaman indatu-indatu kita dahulu, konflik yang terjadi akibat perbedaan agama sering terjadi. Di Indonesia sendiri kita tahu beberapa tahun belakangan pernah terjadi konfilk antar agama di Ambon, Maluku. Para pendukung Pluralisme ingin agar tidak ada lagi konflik semacam itu, semua agama dapat hidup berdampingan dengan penuh toleransi, aman, damai, dan tentram.

Sebuah tujuan yang mulia, tapi didasari oleh paham yang menyimpang. Tanpa paham ini pun Islam telah mengajarkan umat-Nya agar saling bertoleransi terhadap pemeluk agama lainnya, tanpa harus keluar dari batasan-batasan agama yang paling mendasar, terutama dalam hal Tauhid. Jadi kesimpulan akhir kita pada sesi ini, Islam menolak paham toleransi yang didasarkan pada anggapan bahwa semua agama itu benar.

“Begitulah kawan, jangan mudah terjebak oleh logika yang aneh-aneh! Berpikirlah layaknya filsuf, secara, kritis, mendalam dan menyeluruh! Berpikirlah layaknya Muslim, yakinlah akan sumber kebenaran itu adalah Wahyu Allah, Al-Quran dan Hadits!”

Balada Pendekar Kucing di Tengah Kota #5

Bismillahirrahmanirrahim

Sudah dua hari ini hujan tidak pernah berhenti turun. Malam dan siang seakan tiada bedanya, selalu gelap oleh mendung yang menutupi langit. Terkadang kilat dan petir diiringi suara guntur yang memekakkan telinga mewakili kemarahan penduduk langit yang tertumpahkan kepada penduduk bumi.

Memang musim hujan tahun ini sungguh berbeda jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, air hujan turun seakan-akan tiada henti-hentinya. Di banyak tempat terjadi banjir, longsor, dan bahkan gagal panen. Para nelayan pun tidak berani pergi melaut, resiko yang mereka hadapi tidak sepadan dibandingkan hasil tangkapan.

Beberapa tahun yang lalu, banyak ahli meteorologi dan geofisika telah memperingatkan cuaca akan berubah. Untungnya Pemerintah kota tidak mengabaikan peringatan tersebut, sehingga penghuni kota tidak merasa khawatir akan dilanda bencana kelaparan. Kapasitas lumbung kota diperkirakan akan dapat mencukupi kebutuhan penduduk selama satu tahun penuh.

Demikanlah permulaan cerita kita dimulai kembali. Hujan yang turun terus menerus ditambah udara yang dingin bagaikan es menjadikan kota sangat sepi, tidak ada yang mau keluar rumah dalam cuaca ekstrim seperti ini. Warung kopi satu-satunya yang terdapat di kota juga tidak sepenuh seperti biasanya, hanya terlihat seorang kakek tua yang duduk-duduk sedang membaca koran terbitan kemarin seraya menyeruput kopi pahit khas kota ini. Sesekali ia juga menghisap cerutunya dalam-dalam, kemudian menghembuskannya kembali sambil terbatuk-batuk keras. Ah, Kakek tua! Kenapa engkau tidak berhenti saja merokok?

Sayup-sayup si kakek tua mendengar suara seperti hentakan-hentakan kaki, semakin lama suara itu semakin mendekat. Sungguh aneh, pikir si kakek tua, suara apa itu gerangan. Tidak lama kemudian, sebuah pemandangan yang hampir saja membuatnya gila berlalu tepat dihadapannya. Sepasukan rombongan kucing yang berpakaian layaknya serdadu berbaris rapi berjalan dengan membawa persenjataan serba mini. Ada yang membawa machine gun (senjata mesin), pelempar granat, M-16, dan perlengkapan militer lainnya.

Si kakek tua hanya terpaku melihat kucing-kucing tentara ini, sampai beberapa lama setelah kucing-kucing itu hilang dari pandangannya, ia masih diam mematung. Aneh bin Ajaib, tentu saja hal inilah yang pertama kali dipikirkan oleh si kakek tua. Namun sesuai dengan usianya yang telah lanjut, dia mencoba bersikap bijaksana.

“Aduh, mata dan telingaku memang sudah tidak beres lagi! Ini gara-gara aku kebanyakan menonton kartun Tom & Jerry ketika kecil dulu, sekarang aku jadi membayangkan hal-hal yang aneh.” Dia kembali menyeruput kopinya, berharap semoga semua itu hanyalah khayalannya semata.

Di sudut kota lainnya…

“Apa? Budi ada di sana?”

“Benar Komandan.”

“Tidak bisa dibiarkan, dia bisa saja membocorkan kelemahan-kelemahan kita kepada musuh?”

“Ayah, untuk apa kita takut? Dan kelemahan apa lagi yang kita miliki?”

“Dasar anak bodoh! Jangan pernah menyepelekan musuh dan menganggap diri paling kuat. Tiada seorangpun yang tidak mempunyai kelemahan. Ingatlah! Di atas langit masih ada langit!”

“Ma’afkan aku ayahanda!”

“Tapi bukankah yang dikatakan tuan muda tadi ada benarnya, kelemahan apa yang kita miliki?”

“Panglima Satu, kelemahan terbesar yang kita miliki di samping kelemahan-kelemahan lainnya adalah kita tidak mengetahui kekuatan dan kelemahan musuh. Sungguh aneh, bahkan pasukan terlatih kita tidak mampu memperoleh informasi yang lebih. Itu membuktikan lawan kita kali ini tidak dapat dipandang sebelah mata.”

“Ya, sedangkan di pihak mereka terdapat Budi.”

“Nah, itu dia Panglima Satu!”

Sang komandan sejak tadi terlihat gelisah berjalan mondar-mandir ke sana ke mari. Padahal biasanya dia adalah sesosok kucing yang selalu yakin dan tenang dalam melakukan segala sesuatu. Tiba-tiba kucing putih kecil bertanya kepadanya, “Ayah, siapakah sebenarnya Budi yang kalian berdua bicarakan?”

“Dia adalah prajurit terbaik dari pasukan khusus kita. Seekor kucing yang berbakat sepertimu, bahkan sangat mirip denganmu.” Sahut Panglima Satu sambil tersenyum.

“Lho, jadi kenapa kita mengkhawatirkan dia?”

“Karena dia adalah pengkhianat!” Jawab komandan kucing jalanan dengan keras. Raut wajahnya memperlihatkan kebencian yang amat sangat. Bagaimana tidak? Seekor kucing yang melarikan diri karena diduga membunuh guru besar kemudian menghilang, dan tiba-tiba saja muncul di pihak musuh.

“Komandan, kita tidak dapat menuduhnya seperti itu. Belum terbukti dia yang melakukannya!”

“Panglima Satu, keberadaannya di pihak musuh adalah buktinya! Puteh, Pimpin kawan-kawanmu ke bukit di belakang sekolah! Aku mempunyai firasat yang aneh tentang bukit itu.”

“Siap laksanakan ayahanda!”

Kucing putih kecil itu segera meninggalkan ruangan. Hatinya sangat senang karena ia diberi kepercayaan untuk menjalankan sebuah misi. Dia melesat menuju komplek asrama akademi keprajuritan kucing jalanan, tanpa butuh waktu lama ia telah mengumpulkan sekelompok kecil pasukan yang terdiri dari kucing-kucing yang sebaya dengan dirinya. Pasukan ini dibentuk atas inisiatifnya sendiri setahun yang lalu, di bawah bimbingan Panglima Satu yang mendidik mereka dengan keras, menjadikan pasukan ini tidak berada di bawah pasukan senior lainnya. Mereka juga yang akan menjadi generasi penerus pasukan khusus kucing jalanan nantinya.

“Siap Grak! Lancang Kanan Grak!”

“Maju Jalan! Hahaha… Ada apa engkau memanggil kami? Apakah ada latihan mendadak hari ini?”

“Hehe, bukan hanya sekedar latihan. Tapi kita akan menjalankan sebuah misi sungguh-sungguhan!”

“Wow, benarkah? Misi yang beratkah?”

“Tidak untuk saat ini. Kita hanya diperintahkan untuk memantau bukit di belakang akademi.”

“Yah, tidak seru!”

“Tapi aku yakin ayah akan memberikan tugas yang lebih berat kepada kita lain kali. Oke teman-teman, segera bersiap-siap, 10 menit lagi kita berkumpul di tempat ini!”

“Ya Pak Komandan!”

Mereka berpencar, tapi sebentar kemudian mereka telah berkumpul kembali dengan seragam militer ala kucing jalanan. Pakaian mereka seperti model pakaian ringkas prajurit-prajurit cina kuno tempo dulu. Dengan warna yang serba hitam, sangat cocok untuk tugas mengintai. Hanya saja mereka semua masih kecil, sehingga tidak segagah kucing-kucing dewasa yang memakai seragam yang sama.

“Baiklah kawan-kawan, sekarang kita berbagi tugas. Andi dan Kimang selidiki bukit bagian timur, Jayus dan Nujum di bagian utara! Dan aku sendiri akan mengambil jalan memutar”

“Mengapa kita tidak pergi bersama?” tanya salah seekor kucing yang berbadan paling kurus diantara mereka semua. Kimang namanya.

“Ayahku mengatakan dia mempunyai firasat buruk tentang bukit itu. Aku mengambil kesimpulan bahwa bisa saja di bukit itu terdapat mata-mata musuh atau kegiatan mereka lainnya, oleh karena itu kita bergerak ke sana secara diam-diam.”

“Ya, engkau benar. Kalau begitu, ayo berangkat!” Kata seekor kucing lainnya yang mempunyai bulu kuning kemerah-merahan dengan sedikit bercak hitam di sekitar wajahnya. Inilah Nujum, yang paling bersemangat di antara mereka.

“Ayo……!!!!”

Maka berangkatlah mereka secara berpencar. Sebagai kode untuk berkomunikasi mereka sepakat menggunakan tiruan suara kera dengan sandi khusus, mengingat suara kera di hutan bukanlah hal yang janggal sehingga tidak akan menimbulkan kecurigaan dari musuh.

Puteh, Andi, Kimang, Jayus, dan Nujum…
Apa yang akan mereka dapati di bukit belakang sekolah tersebut?

Bersambung…

Balada Pendekar Kucing di Tengah Kota #4

Bismillahirrahmanirrahim…

Banyak orang memprediksikan malam ini akan terjadi badai. Sejak sore tadi langit terlihat mendung, anginnya terasa begitu dingin merasuk tulang. Lampu jalanan telah menyala, tidak terlihat seorangpun yang keluar. Semua pintu rumah tertutup rapat, bahkan sebuah kedai minuman yang biasanya ramai pun kelihatan sepi.

Sayup-sayup terdengar suara dencingan senjata di sebuah rumah tua yang telah lama ditinggalkan pemiliknya beberapa tahun yang lalu. Puluhan kucing memenuhi aula rumah tersebut. Ternyata kucing jalanan memafaatkan keadaan yang sunyi ini untuk berlatih dengan serius, ada yang berlatih pertarungan senjata yaitu pedang dan panah. Ada pula yang berlatih pertarungan tangan kosong.

Senjata-senjata yang dipergunakan oleh kucing-kucing ini agak berbeda dengan senjata-senjata yang digunakan oleh manusia, walau fungsinya tetap sama. Pedang mereka adalah potongan besi yang juga menyerupai pedang, namun pedang tersebut dibuat sedemikian rupa pada kaki depan mereka menyerupai seperti cakar yang panjang, dapat keluar-masuk juga seperti cakar kucing lainnya. Adapun panah mereka lebih menyerupai cakar-cakar yang dapat terbang.

Seekor kucing belang besar mengawasi latihan mereka, perhatiannya tertuju kepada seekor kucing yang sedang berlatih pedang. Kucing itu masih muda, bahkan dapat dikatakan kecil. Bulunya putih bersih, kucing ini sebenarnya sama sekali tidak mirip dengan tampang kucing jalanan. Namun begitu, ketangkasannya dalam memainkan pedang cakarnya tidak kalah dengan kucing-kucing jalanan lainnya yang sudah berpengalaman.

“Tuan Muda, mengapa anda ikut berlatih?” tegur si kucing belang kepada kucing putih.

“Oh, aku tidak ingin hanya duduk diam saja Paman.”

“Tapi Tuan Muda masih terlalu kecil untuk ikut.”

“Paman, mengapa engkau berkata begitu? Apakah engkau menganggapku tidak pantas, kutantang engkau bertarung denganku Paman. Untuk membuktikan pantas tidaknya aku ikut.” Serunya marah. Kucing putih ini memang cepat emosi, juga sedikit sombong, mengingat bahwa ia adalah putra pemimpin kucing jalanan.

“Ah, tidak demikian. Kalau Komandan memang sudah setuju, aku siap mempertaruhkan nyawaku untukmu.”

“Baguslah kalau begitu, Paman ingin menemaniku berlatih?”

“Baiklah. Dengan pedang atau tangan kosong?”

“Pedang.”

Singgg…. Pedang cakar dikeluarkan, keduanya berhadapan dan berdiri dengan dua kaki belakang siap untuk bertarung. Bagaikan dikomando, kucing-kucing lainnya segera mengerubungi sekeliling mereka untuk melihat latihan duel itu. Masing-masing menyemangati jagoannya.

Kucing belang melakukan jurus pembukaan. Kaki depannya yang sekarang menjadi tangan layaknya manusia melakukan gerakan melingkar, melakukan gerak menyembah ke langit. Satu kaki belakangnya ditarik ke depan, badan ditekuk. Kemudian tiba-tiba secara cepat tangannya dihujamkan ke atas lantai. Keramik yang melapisi lantai tersebut retak disebabkan tenaga kucing belang.

Para kucing yang menjagokannya berteriak senang, “Hidup Panglima!”

“Hahaha, kuterima penyembahanmu Paman.” Seru kucing putih seraya tangannya seakan-akan menerima suatu benda dari depan. Selanjutnya diteruskan dengan gerakan “awan putih melindungi langit”. Ia berdiri dengan satu kaki, tangannya ditarik melebar ke samping, pergelangan ditekuk mirip dengan seekor burung.

“Hmm, bagus. Awas serangan!” kucing belang menyerang kucing putih dengan cepat. Pedangnya  bergerak lurus mengincar dada kucing  putih. Aneh, kucing putih tidak bergerak sama sekali. Ia hanya berdiri dengan posisi tadi menatap pedang yang sedang meluncur ke arahnya. Kucing belang menjadi ragu, namun dengan jarak serangannya yang sudah sangat dekat, tidak mungkin lagi untuk menarik serangan. Ia hanya dapat mengurangi tenaganya sedapat mungkin. Semua penonton pun menjadi tegang  dibuatnya.

Hupp… Ketika ujung pedang hampir menempel di dada kucing putih, dengan sebuah lompatan ringan ia melompat ke belakang tanpa merubah posisinya. Pedang terus meluncur ke depan dan berhenti tepat dua senti di depannya. Suasana hening sejenak, siapa yang menyangka kucing putih berbuat senekad itu menerima serangan.

“Tuan Muda, apa yang kau lakukan?” Kucing belang marah.

“Hahaha, Itulah jurus pembukaku yang sebenarnya Paman.”

“Kau memang seekor kucing aktor yang payah. Jangan pernah melakukan itu lagi, di lain kesempatan aku tidak akan ragu-ragu lagi.”

“Tenanglah Paman, just kidding.” Setelah mengatakan itu kucing putih segera menyerang kucing  belang dengan sungguh-sungguh. Barulah duel yang sebenarnya berlangsung. Penonton sibuk memberi semangat, tidak ada yang  menyadari sebuah bayangan gelap menyusup masuk di antara mereka.

“Lapor! Kumbang Dua datang menghadap Panglima Besar.” Seekor kucing hitam tiba-tiba saja berada di tengah arena duel mengejutkan kucing lainnya. Pertarungan dihentikan, kucing belang datang menghampiri kucing hitam tersebut.

“Panglima Besar sedang tidak ada, Panglima Satu yang bertanggung jawab.”

“Kumbang Dua melaporkan kondisi musuh, tidak ada kegiatan yang mencolok dari musuh. Bahkan tidak ada tanda-tanda mereka berlatih tarung. Namun demikian tadi sore seorang anggota kami melaporkan bahwa kucing rumahan memasukkan banyak peti besar ke markas mereka.”

“Peti-peti besar? Apa isinya?”

“Belum terindentifikasi, namun kami terus berusaha melacaknya.”
“Bagus, ada hal lain yang ingin engkau laporkan?”

“Ada satu lagi. Di markas kucing rumahan terlihat Budi.”

“Budi….?” Kucing belang benar-benar terkejut mendengarnya, entah ekspresi apa yang terbayang di wajahnya. Sedih, geram, dan gembira bercampur menjadi satu, membuat raut wajahnya kelihatan benar-benar aneh.

“Paman, ada apa dengan Budi? Mengapa engkau kelihatan terkejut?” tanya kucing putih yang  memang masih muda tadi.

“Kumbang Dua…!”

“Siap!”

“Lanjutkan penyelidikan!”

“Laksanakan.” Kabut asap menyelimuti kucing hitam, yang ternyata merupakan salah seekor anggota pasukan khusus kucing jalanan, dan kemudian menghilang bersama hilangnya kabut asap.

“Seluruhnya, lanjutkan latihan kalian. Aku akan menghadap Panglima Besar.”

“Siap, Laksanakan.”

Suara dencingan senjata-senjata yang beradu kembali terdengar. Kucing belang segera keluar ruangan, diikuti oleh kucing putih yang penasaran. Hatinya penuh dengan tanda tanya. Siapakah Budi yang dilaporkan oleh anggota pasukan khusus tadi? Ada hubungan apa antara Budi dengan Panglima Satu? Apakah Budi itu orang penting? Kawan atau lawan?


To be continued…

Balada Pendekar Kucing di Tengah Kota #3


Bismillahirrahmanirrahim…

Hugh..hugh…
Suara batuknya menghentikan langkahnya. Ia kecewa, karena murid kesayangannya sendiri telah mengkhianatinya. Rasa marah yang ditahan-tahannya, malah membuatnya jatuh sakit. Si Kucing Tua, seorang intrukstur pelatih pasukan khusus kucing jalanan, tampak begitu kepayahan.

“Sucouw (kakek guru)! Teccu (murid) datang menghadap.”

“Oh, engkau Budi! Aku baru saja ingin pergi ke tempatmu.”

“Apa gerangan sehingga sucouw memanggilku dengan kode rahasia?”

“Mari masuk ke dalam!”

“Tapi sucouw, kami dilarang masuk ke kediamanmu.”

Tapi si kucing tua itu telah mendahuluinya masuk ke dalam, Budi terpaksa mengikutinya dengan perasaan yang tidak nyaman.

“Budi, dahulu di tempat inilah para anggota pasukan khusus generasi pertama berlatih. Guru-gurumu dan juga ayahmu.”

“Ya sucouw, teccu tahu akan hal itu.”

“Semuanya berlatih dengan tekun, sehingga mereka menjadi kucing-kucing tertangguh di masanya. Di antara murid-muridku itu, ayahmu dan salah seorang paman gurumulah murid yang paling menonjol. Mereka berdua sangat kusayangi seperti anakku sendiri. Hingga tiba sa’at di mana aku melakukan kesalahan besar.” Si kucing tua terdiam sejenak.

Ia menghela nafas dan melanjutkan,”Budi, engkau tahu bagaimana ayahmu meninggal?”

“Teccu mendengar dari ibunda, ayah teccu meninggal disebabkan ia dihukum mati karena melanggar peraturan kamp pelatihan ini.”

“Apakah engkau tahu kesalahan ayahmu?”

“Ibunda tidak menceritakannya.”

“Ayahmu telah mencuri kitab pusaka kakek moyang aliran perguruanku.”

“Ah…” Budi tersentak terkejut.

“Dan tangan inilah yang melaksanakan hukuman tersebut.”

“Teccu mengerti.” Kata Budi dengan wajah tertunduk.

“Tapi sekarang aku menyesal, setelah aku mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. Ayahmu bukanlah pencuri kitab tersebut. Paman gurumulah pencurinya. Aku….aku… telah salah tangan membunuh ayahmu.”

Kepala Budi semakin tertunduk, si kucing tua terbatuk-batuk seraya mengelus dadanya. Penyakitnya kambuh lagi.

“Budi, angkatlah kepalamu!”

“Ya, sucouw.” Air mata telah penuh membasahi wajahnya.

“Jika engkau merasa dendam kepadaku, bunuhlah aku sekarang!”

“Sucouw!!!”

“Aku merasa sangat bersalah kepada ayahmu.”

“Sucouw, ibunda selalu berkata kepada teccu agar tidak pernah mendendam kepada siapapun. Ibunda berkata dendam itu datangnya dari setan.”

“Ah, aku semakin merasa bersalah.”

Si kucing tua pergi menuju ke sebuah peti tua yang penuh dengan debu. Dia mengeluarkan sejilid buku tipis yang bersampul putih kekuning-kuningan, dan menyerahkannya kepada Budi.

“Budi, ini adalah kitab ilmu bela diri kucing ciptaan seorang master berabad-abad yang lalu. Bahkan aliran kita ini masih bersumber dari kitab ini. Aku tidak pernah mempelajarinya, dan hari ini aku serahkan kepadamu. Carilah paman gurumu itu! Tidak ada yang tahu siapa nama aslinya, tapi ia dijuluki dengan Kucing Tanpa Bayangan. Kudengar dia sekarang berada di negeri barat, melakukan banyak kejahatan yang membuatku gusar karenanya. Hugh… Hugh….” Si kucing tua terbatuk-batuk lagi, bahkan ia mulai muntah-muntah darah!”

“Sucouw….!”

“Aku tidak dapat bertahan lama, laksanakan perintahku ini! Pelajarilah kitab ini dan carilah si Kucing Tanpa Bayangan. Aku yakin engkau akan menguasainya dengan cepat.”

“Tapi teccu tidak pantas menerimanya.”

“Ini perintah!”

“Baiklah, Teccu siap melaksanakan perintah!”

“Sekarang keluarlah!”

Ia melangkah keluar kembali ke barak kamp pelatihan pasukan khusus, berpapasan dengan salah seorang pelatih yang sedang terburu-buru menuju kediaman si kucing tua. Budi terus memikirkan kata-kata si kucing tua, membuat air matanya tanpa terasa mengalir kembali. Tiba-tiba ia terkejut mendengarkan teriakan keras dari pelatih yang tadi barusan menuju kediaman si kucing tua.

“Tolong…! Guru besar meninggal…!”

Hanya sesa’at, di tempat itu telah ramai dipenuhi para penghuni kamp. Pelatih itu langsung menghardik Budi, “Apa yang engkau lakukan di sini tadi?”

“Aku…aku…aku dipanggil menghadap oleh sucouw.” Jawab Budi tergagap.

“Jangan-jangan, engkaulah yang membunuh guru besar!” tuduhnya terhadap Budi.

“Tidak….! Aku tidak melakukannya.”

“Jangan banyak alasan!”

Dia segera menyerang Budi tanpa ampun, diikuti oleh pelatih-pelatih lain dan seluruh penghuni kamp yang berada di situ.

Budi terpakasa mempertahankan dirinya . Di tengah kegalauan hatinya yang disebabkan cerita si kucing tua mengenai kematian ayahnya yang kemudian disusul dengan kematian si kucing tua itu sendiri, membuatnya mengamuk dan menjadi sangat berbahaya.

Akan tetapi Budi masih dapat menggunakan akal sehatnya, ia tahu jika ia terus mengamuk maka dia akan kalah juga. Ia kemudian membuka jalan dengan menyerang beberapa orang yang paling lemah dari mereka dan merubuhkannya. Setelah itu, tanpa membuang waktu sedetik pun Budi segera menggunakan jurus langkah seribu untuk meloloskan diri dari kepungan.

“Kejar dia! Jangan biarkan dia lolos!”

Tapi Budi telah melesat jauh, melewati pagar pembatas kamp dengan dunia luar. Menjadi seekor kucing pelarian yang dituduh membunuh guru besar. Dicari-cari oleh segenap anggota pasukan khusus untuk menuntut balas, kecuali seekor kucing. Dialah si kucing Ninja yang mengirimkan surat pernyataan perang kepada kucing rumah.

Dia yakin bahwa Budi tidak membunuh guru besar, ia telah mengenal Budi sejak kecil. Tapi keyakinan itu pudar, sejak ia melihat Budi ada bersama kucing-kucing rumah.

Dia tidak habis pikir, mengapa Budi dapat berada di tempat seperti itu…….?!


Bersambung....