Monday, 10 September 2012

Menyederhanakan Masalah?


Menyederhanakan Masalah
Musthafa Mahmud (Novelis besar Mesir)


SEORANG tua bijak berkata:
“Perhatikanlah wahai sahabatku, sederhanakanlah masalah  dan ringkaslah kehidupan dalam satu titik, niscaya kaudapatkan kebahagiaan dalam pencarianmu.”

Salah seorang di antara kami berkata kepada dirinya sendiri, “Jika aku dapat mengerjakan dan menyelesaikan semua kertas kerja ini, pasti hilang semua kesulitan.”

Orang lainnya berkata, “Jika kunikahi perempuan itu, niscaya aku menjadi orang yang paling berbahagia di muka bumi.” 

 Ada juga yang bilang, “Jika aku pindah ke Amerika, pasti aku dapat mewujudkan seluruh impianku.”

“Seandainya aku sembuh dari penyakit ini, yang sekian lama menyiksa dan menghabiskan hidupku dalam kelemahan, niscaya aku akan menjadi manusia mulia, manusia terhormat yang diagungkan masyarakat.

Seandainya...
Seandainya...
Seandainya...

Selalu saja manusia ingin menyederhanakan masalah ke dalam satu titik. Dulu, Sigmund Freud menyederhanakan jiwa manusia secara ekstrem sehingga mengatakan bahwa seluruh prilaku, kepribadian, dan bangunan psikologis manusia tergantung pada satu aspek saja, yakni aspek seksual.
 
Ia salah...
Ia keliru...

Sebab, kehidupan tak menerima penyederhanaan. Kehidupan manusia terbangun dari berbagai aspek internal dan eksternal yang sangat rumit. Semua itu membangun dan membentuk kepribadian serta jiwa manusia.

Jika kau menyederhanakan jiwa manusia maka kau telah memenggal kehidupannya secara periodik, masa per masa, hari per hari, detik per detik.

Tentu saja, jika kita mau, seluruh makhluk, manusia, hewan, tumbuhan, dan seluruh isi semesta dapat disederhanakan secara ekstrem bahwa hakikat dan inti semuanyan adalah air dan tanah.

Tetapi apakah permasalahannya sesederhana itu?

Penyederhanaan hanya akan membunuh hakikat. Inilah yang dilakukan dan dialami setiap orang ketika ia menggambarkan bahwa seluruh kehidupannya dimulai ketika ia dapat menyunting wanita idamannya. Jika wanita itu berpaling darinya, sirnalah kehidupannya, an jika ia mendapatkannya, sempurnalah seluruh hidupnya, seakan-akan telah meraih kesempurnaan dunia dan akhirat.

Pandangan hidup seperti itu hanya akan melemahkan dan melelahkan manusia. Akibatnya, ia tidak lagi dapat merasakan nikmatnya makan, tidur, dan istirahat. Ia menjadi orang gila, layaknya Majnun yang terus mengejar Laila... Aspirin dan obat-obatan penenang menjadi konsumsinya sehari-hari untuk melarikan diri dari rasa sakit dan tekanan batin.

Seandainya Majnun mendapatkan kekasihnya, Laila, dan menikahinya serta mewujudkan mimpi-mimpinya yang selama ini menghiasi tidur dan jaganya, tentu ia akan sembuh dari kegilaannya. Dan ia dapatkan kembali pikirannya di saat pertama ia bersanding di atas pembaringan kekasih tercinta.

Tentu saja, semua pandangan dan mimpi-mimpi indahnya, serta kelembutan rasa akan menyembur keluar dari pikirannya, memancar membanjiri kekasihnya, Laila. Ia akan mencela hari-hari ketika ia senandungkan kasidah-kasidah cinta dan syair-syair pujian bagi kekasihnya yang tercinta. Mungkin ia akan berdiri seraya mencela dan mengutuk, lalu duduk lagi d depan pintu kemah seraya menyenandungkan kasidah yang mencela bulan, bintang, dan pepohonan, serta kehidupan yang tak ubahnya kehidupan seekor binatang.

Tetapi Allah tidak menghendakinya meraih impiannya. Dia tak membuatnya mampu mewujudkan angan-angan dan keinginannya. Allah hendak menjadikan angan-angan dan khayalan sebagai ujian dan cobaan bagi manusia, sebagaimana Dia menjadikan hakikat sebagai pendorong yang membangkitkan manusia. Allah menjadikan semua ciptaan-Nya, yang baik dan yang buruk, yang terpuji dan yang tercela, dan yang hina maupun sempurna, sebagai ujian bagi jiwa-jiwa manusia.

Sumber: The Real Face of Dajjal (dengan sedikit revisi dari saya)

No comments: