Menyederhanakan Masalah
Musthafa Mahmud (Novelis besar
Mesir)
SEORANG tua bijak berkata:
“Perhatikanlah
wahai sahabatku, sederhanakanlah masalah
dan ringkaslah kehidupan dalam satu titik, niscaya kaudapatkan
kebahagiaan dalam pencarianmu.”
Salah
seorang di antara kami berkata kepada dirinya sendiri, “Jika aku dapat
mengerjakan dan menyelesaikan semua kertas kerja ini, pasti hilang semua
kesulitan.”
Orang
lainnya berkata, “Jika kunikahi perempuan itu, niscaya aku menjadi orang yang
paling berbahagia di muka bumi.”
Ada
juga yang bilang, “Jika aku pindah ke Amerika, pasti aku dapat mewujudkan
seluruh impianku.”
“Seandainya
aku sembuh dari penyakit ini, yang sekian lama menyiksa dan menghabiskan
hidupku dalam kelemahan, niscaya aku akan menjadi manusia mulia, manusia
terhormat yang diagungkan masyarakat.
Seandainya...
Seandainya...
Seandainya...
Selalu
saja manusia ingin menyederhanakan masalah ke dalam satu titik. Dulu, Sigmund
Freud menyederhanakan jiwa manusia secara ekstrem sehingga mengatakan bahwa
seluruh prilaku, kepribadian, dan bangunan psikologis manusia tergantung pada
satu aspek saja, yakni aspek seksual.
Ia salah...
Ia
keliru...
Sebab,
kehidupan tak menerima penyederhanaan. Kehidupan manusia terbangun dari
berbagai aspek internal dan eksternal yang sangat rumit. Semua itu membangun
dan membentuk kepribadian serta jiwa manusia.
Jika
kau menyederhanakan jiwa manusia maka kau telah memenggal kehidupannya secara
periodik, masa per masa, hari per hari, detik per detik.
Tentu
saja, jika kita mau, seluruh makhluk, manusia, hewan, tumbuhan, dan seluruh isi
semesta dapat disederhanakan secara ekstrem bahwa hakikat dan inti semuanyan
adalah air dan tanah.
Tetapi
apakah permasalahannya sesederhana itu?
Penyederhanaan
hanya akan membunuh hakikat. Inilah yang dilakukan dan dialami setiap orang
ketika ia menggambarkan bahwa seluruh kehidupannya dimulai ketika ia dapat
menyunting wanita idamannya. Jika wanita itu berpaling darinya, sirnalah
kehidupannya, an jika ia mendapatkannya, sempurnalah seluruh hidupnya,
seakan-akan telah meraih kesempurnaan dunia dan akhirat.
Pandangan
hidup seperti itu hanya akan melemahkan dan melelahkan manusia. Akibatnya, ia
tidak lagi dapat merasakan nikmatnya makan, tidur, dan istirahat. Ia menjadi
orang gila, layaknya Majnun yang terus mengejar Laila... Aspirin dan
obat-obatan penenang menjadi konsumsinya sehari-hari untuk melarikan diri dari
rasa sakit dan tekanan batin.
Seandainya
Majnun mendapatkan kekasihnya, Laila, dan menikahinya serta mewujudkan
mimpi-mimpinya yang selama ini menghiasi tidur dan jaganya, tentu ia akan
sembuh dari kegilaannya. Dan ia dapatkan kembali pikirannya di saat pertama ia
bersanding di atas pembaringan kekasih tercinta.
Tentu
saja, semua pandangan dan mimpi-mimpi indahnya, serta kelembutan rasa akan
menyembur keluar dari pikirannya, memancar membanjiri kekasihnya, Laila. Ia
akan mencela hari-hari ketika ia senandungkan kasidah-kasidah cinta dan
syair-syair pujian bagi kekasihnya yang tercinta. Mungkin ia akan berdiri
seraya mencela dan mengutuk, lalu duduk lagi d depan pintu kemah seraya
menyenandungkan kasidah yang mencela bulan, bintang, dan pepohonan, serta
kehidupan yang tak ubahnya kehidupan seekor binatang.
Tetapi
Allah tidak menghendakinya meraih impiannya. Dia tak membuatnya mampu
mewujudkan angan-angan dan keinginannya. Allah hendak menjadikan angan-angan
dan khayalan sebagai ujian dan cobaan bagi manusia, sebagaimana Dia menjadikan
hakikat sebagai pendorong yang membangkitkan manusia. Allah menjadikan semua
ciptaan-Nya, yang baik dan yang buruk, yang terpuji dan yang tercela, dan yang
hina maupun sempurna, sebagai ujian bagi jiwa-jiwa manusia.
Sumber: The Real Face of Dajjal (dengan sedikit revisi dari saya)
No comments:
Post a Comment