BAB I
P E N D A H U L U A N
Bisa
kita ketahui bahwa Allah menurunkan Al-Qur’an untuk manusia, bukan hanya untuk dibaca
saja, tetapi dibutuhkan pula meluangkan waktu untuk mepelajari dan mengetahui
seluk-beluk dalam Al-Qur’an. Maka dengan itu, para Ulama-ulama mengarang
kitab-kitab tentang pemahaman ayat-ayat didalam al-Qur’an, atau kaeda-kaedah
yang terkandung didalamnya.
Kaedah-kaedah
itu disebut kaedah Tafsir, di mana seorang mufassir wajib menguasai
kaedah-kaedah tersebut guna memahami suatu ayat. Ulumul al-Qur’an adalah induk
ilmu yang memperkenalkan dan mempelajari tentang Al-Quran, karenanya kaedah
tafsir merupakan salah satu bagian dari pembahasannya.
Berhubung
Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab, tentunya kaedah-kaedah penafsiran yang
berlaku padanya sangat terkait dengan bahasa Arabitu sendiri. Di dalam makalah
ini kita akan membahas salah satu kaedah tafsir yang sangat erat kaitannya
dengan kaedah bahasa Arab, yaitu Jamak dan Mufrad.
Apabila
lafaz jamak berjumpa dengan lafaz jamak lainnya dalam satu ayat, terdapat
beberapa kaedah. Begitu juga yang terjadi apabila lafaz jamak berjumpa dengan
lafaz mufrad, ada kaedah-kaedah yang harus diketahui oleh seorang mufassir.
BAB II
P E M B A H A S A N
A.
Pengertian Jamak dan Mufrad
Untuk
memudahkan kita dalam memahami makalah ini, sebaiknya kita mengetahui terlebih
dahulu apa yang dimaksud dengan jamak dan mufrad itu sendiri. Jamak berasal
dari kata جمع – يجمع – جمعًا , artinya mengumpulkan suatu hal yang pada
awalnya terpisah-pisah.[1]
Sedangkan mufrad berasal dari kata فَرَدَ – يَفرُدُ - فَردًا yang makna dasarnya adalah terasing atau
tunggal.[2]
Dikatakan
jamak dalam bahasa Arab apabila jumlah benda telah lebih daripada dua. Sedangkan mufrad adalah
kata tunggal, bilangannya hanya satu. Di antara jamak dan mufrad terdapat kata mutsanna,
yakni jumlah bendanya hanya dua saja. Perhatikan contoh di bawah ini:
Jamak
|
Mutsanna
|
Mufrad
|
كُتُبٌ
banyak kitab (lebih dari 2)
|
كِتَابَانِ
dua kitab
|
كِتَابٌ
satu kitab
|
مُسلِمُون
orang-orang muslim (lebih dari 2)
|
مُسلِمَانِ
dua orang muslim
|
مُسلِمٌ
satu orang muslim
|
اَقلَامٌ
panyak pena (lebih dari 2)
|
قَلَامَانِ
dua pena
|
قَلَامٌ
satu pena
|
هُم
mereka lelaki (lebih dari 2 orang)
|
هُمَا
dia lelaki dua orang
|
هُوَ
dia lelaki satu orang
|
هُنَّ
mereka perempuan (lebih dari 2 orang)
|
هُمَا
dia perempuan dua orang
|
هِيَ
dia perempuan satu orang
|
B.
Mengimbangi Jamak dengan Jamak (( مُقَابِلَةُ
الجَمۡعِ بِالجَمۡعِ
Apabila
dalam satu konteks ayat sebuah lafazh isim jamak diikuti oleh isim lainnya yang
juga berbentuk jamak maka terdapat beberapa kaidah yang harus dikuasai oleh
seorang mufassir, yaitu:
1. Kaidah Pertama:
“Mengimbangi jamak dengan jamak terkadang menuntut bahwa setiap satuan
dari jamak yang satu diimbangi dengan satuan jamak yang lain.[3]
Penjelasan:
Setiap kata jamak terdiri dari satuan-satuan yang
menyusunnya. Lihat contoh di bawah ini:
حَمِلُوا كُتُبًا = mereka membawa buku-buku
Mereka
dalam kalimat ini tersusun dari Ali, Hasan dan Syu’ib. Sedangkan buku-buku yang
dimaksud adalah buku Bahasa Arab, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia.
|
Jika kita menggunakan kaidah di atas, setiap bagian dari kata
hamilu diimbangi dengan bagian dari kata kutuban, akan
menghasilkan makna:
1.
Ali membawa buku bahasa arab
2. Hasan membawa buku bahasa inggris
3.
Syu’ib membawa buku bahasa indonesia
Contoh-Contohnya dalam Al-Quran:
-
Surat Nuh ayat 7:
dan mereka menutupkan baju mereka (ke
muka mereka) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan
sangat.
Maksudnya ialah
setiap orang dari mereka menutupi badannya dengan bajunya masing-masing.
-
Surat Al-Baqarah
ayat 233:
Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh
Maksudnya ialah masing-masing ibu menyusui anaknya
sendiri.[4]
-
Surat Yusuf ayat
31:
disediakannya bagi mereka tempat duduk
Maksudnya ialah setiap dari mereka disediakan satu
tempat duduk masing-masing.
-
Surat An-Nisa’ ayat
23
diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu
kalian;
Maksudnya ialah setiap orang mukmin diharamkan
mengawini ibunya masing-masing.[5]
2.
Kaidah Kedua:
“Kata jamak terkadang menjadikan maknanya sebuah ketetapan
penggabungan terhadap masing-masing individu dari objek yang dimaksudkan.”[6]
Penjelasan:
Jika
pada kaidah sebelumnya masing-masing satuan dari jamak diimbangi dengan satuan
jamak yang lain, maka dalam kaidah ini masing-masing satuan jamak mengimbangi seluruh
satuan jamak yang lain. Perhatikan contoh di bawah ini:
حَمِلُوا كُتُبًا= mereka membawa buku-buku
Mereka
dalam kalimat ini juga tersusun dari Ali, Hasan dan Syu’ib. Sedangkan buku-buku yang
dimaksud juga buku Bahasa Arab, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia.
Namun dengan menggunakan kaidah kedua, maka maknanya menjadi:
1. Ali membawa buku bahasa Arab, bahasa Inggris dan Bahasa
Indonesia
2. Hasan membawa buku bahasa Arab, bahasa Inggris dan Bahasa
Indonesia
3. Syu’ib membawa buku bahasa Arab, bahasa Inggris dan Bahasa
Indonesia
Contoh-Contohnya dalam Al-Quran:
-
Firman Allah Q.S
An-Nur ayat 4:
Maka cambuklah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali cambukan.
Maksudnya adalah masing-masing orang yang terhukum akan mendapatkan 80
cambukan penuh.
-
Firman Allah Q.S.
Al-Baqarah ayat 238:
peliharalah kalian(semua) shalat-shalat...
Maksudnya adalah, setiap orang mukmin wajib
menjaga semua waktu shalatnya, (maghrib, isya, subuh, zuhur dan ashar). Tidak
boleh satu orang mukmin hanya menjaga satu waktu shalat saja, dan mukmin yang
lain menjaga waktu shalat yang lain (sebagaimana halnya jika kita menggunakan
kaidah pertama).[7]
-
Firman Allah Q.S.
Al-Maidah ayat 48:
Maka berlomba-lombalah kamu sekalian
berbuat kebajikan!
Kebajikan itu bisa berupa sedekah, bisa berupa
berperang di jalan Allah, bisa berupa menuntut ilmu, dan lain-lain. Dalam ayat
ini kita dituntut untuk berbuat semua kebajikan itu, agar kita memperoleh
kemenangan yang hakiki dari Allah swt.
3.
Kaidah Ketiga:
“Kadang-kadang maknanya mengandung dua kaidah di atas. Maka dibutuhkan dalil untuk menentukan mana yang akan digunakan di antara
keduanya.”[8]
Contohnya seperti pada surat At-Taubah ayat 60:
Sesungguhnya zakat-zakat
itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan,
Lafaz jamak yang pertama
adalah Shadaqat, shadaqatyang dimaksud dalam ayat ini
adalah benda-benda yang diwajibkan dikeluarkan zakat, yaitu; binatang ternak,
biji-bijian, dan harta. Sedangkan lafaz jamak yang kedua adalah fuqara,
masakin, dan lain-lain yang menjadi orang-orang yang berhak menerima zakat.
Jika kita menggunakan
kaedah pertama, maka maksud ayat ini adalah “benda yang dizakatkan kepada
masing-masing muzakki berbeda-beda jenisnya”. Sedangkan apabila kita memakai
kaedah yang kedua, maksud ayat ini adalah semua jenis benda yang dizakatkan
dapat diberikan seluruhnya kepada setiap masing-masing muzakki.[9]
Wallahu a’lam
C. Mengimbangi Jamak dengan Mufrad (( مُقَابِلَةُ الجَمۡعِ بِالمـُفۡرَدِ
Adapun
mengimbangi jamak dengan mufrad maka pada umumnya tidak dimaksudkan untuk
menunjukkan keumuman mufrad tersebut, tetapi kadang-kadang hal demikian dapat
saja terjadi. Misalnya:
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang
miskin.
Setiap
orang yang tidak sanggup berpuasa maka wajiblah baginya memberikan makanan
kepada seorang miskin pada setiap hari.[10]
BAB III
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, kita dapat
menyimpulkan beberapa point penting, yaitu:
Ø Dikatakan lafaz jamak apabila ia
tersusun lebih dari dua, sedangkan lafaz mufrad adalah lafaz yang tunggal.
Ø Apabila lafaz jamak berjumpa dengan
jamak akan menghasilkan 3 kaedah, yaitu:
1.
Masing-masing satuan jamak
yang pertama akan diperbadingkan dengan masing-masing satuan jamak yang lain.
2.
Masing-masing satuan jamak
yang pertama akan diperbandingkan dengan keseluruhan gabungan jamak yang lain.
3.
Terkadang bisa dimaknai
dengan menggunakan kedua kaedah di atas, karenanya dibutuhkan dalil untuk
menentukan kaedah mana yang akan digunakan.
Ø Apabila lafaz jamak berjumpa dengan
mufrad biasanya tidak menuntut keumuman lafaz mufrad tersebut, kecuali pada
kasus-kasus tertentu.
B. Tanbih
Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karenanya
diharapkan kepada pembaca agar merujuk kembali ke kitab-kitab qawaid tafsir
guna meluaskan pemahamannya mengenai kaedah ini.
Referensi utama yang pemakalah gunakan dalam menjelaskan
kaedah-kaedahmuqabilatul jam’i bil jam’i aw muqabilatul jam’i bil mufrad
adalah kitab Al-Burhan fi Ulumil Quran karangan Az-Zarkasyi dan Qawaid Tafsir
karangan Khalid bin Utsman As-Sabt.
Dalam buku-buku Ulumul Quran lainnya, kaedah ini dibahas
dengan sangat singkat, sehingga menyulitkan pemakalah menjelaskan kaedah ini
secara mendetail. Apa yang ada di makalah ini sebagian besarnya adalah
pemahaman pemakalah pribadi, karenanya jika terdapat kesalahan ataupun
kesilapan harap dimaklumi.
D A F T A R P U S T A K A
IbnuManzhur, Lisanul Arab Jilid 8, (Beirut:
Dar Al-Kitab Al-Ilmiyah, tt)
Louis Ma’luf dan Bernard Totel al-Yassul, Al-Munjid. (Beirut:
Dar el-Macreq SARL, 1986)
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumil Quran terj. Tim
Editor Indiva, (Surakarta: Indiva Pustaka, 2008)
Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Quran terj. Aunur
Rafiq El-Mazni, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009)
Badruddin Muhammad bin Abdullah
Az-Zarkasyi, Al-Burhan Fi Ulumil QuranJilid III, (Beirut: Dar Al-Fikr,
1988)
Khalid Bin Utsman As-Sabt, QawaidTafsirJilid
II, (TK: Dar IbniUtsman, tt)
[1]IbnuManzhur, Lisanul Arab Jilid 8, (Beirut:
Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, tt), hal. 62
[2]Louis Ma’luf dan Bernard Totel al-Yassul, Al-Munjid. (Beirut:
Maktabah Syarqiyyah, 1986), hal 574
[3]Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi Ulumil Quran terj. Aunur Rafiq
El-Mazni, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), hal. 250
[5]Khalid Bin Utsman As-Sabt, Qawaid
At-TafsirJilid 2, (TK: Dar Ibni ‘Affan, tt), hal. 589
[6]Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumil Quran terj. Tim Editor
Indiva, (Surakarta: Indiva Pustaka, 2008), hal. 59
[7]LihatKhalid Bin Utsman As-Sabt, Qawaid
At-TafsirJilid 2…, hal. 589
[8]Badruddin Muhammad bin Abdullah Az-Zarkasyi, Al-Burhan
Fi Ulumil Quran Jilid 3, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1988), hal. 7
[9]Lihat Khalid Bin Utsman As-Sabt, Qawaid
At-TafsirJilid 2…, hal. 590
No comments:
Post a Comment