Friday, 1 May 2015

Makalah Tafsir: Kisah Siti Hajar Dan Ismail



BAB I
PENDAHULUAN


            Allah swt menjadikan kisah-kisah umat terdahulu sebagai pelajaran bagi umat-umat yang datang sesudahnya. Rangkaian proses kejadian yang disebutkan dalam kisah-kisah itu dinamakan sebab, di mana sudah menjadi sunnatullah bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini pasti ada sebabnya.
            Kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Quran bukanlah dongeng sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang kafir. Al-Quran adalah kitab suci yang wajib kita imani kebenarannya.
            Adapun isi makalah ini membahas mengenai kisah Nabi Yusuf as. serta ibunda beliau Siti Hajar, istrinya Nabi Ibrahim as. Allah memberikan keluarga ini berbagai macam cobaan untuk menguji kekuatan iman mereka, sehingga mereka lulus dan menjadi manusia pilihan Allah.
   
 
BAB II
PEMBAHASAN


A.    Kisah Ismail dan Ibunda Hajar
1.      Do’a Nabi Ibrahim agar dikaruniai anak yang Saleh
Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.(QS. Ash-Shaffat (37) : 100-101).
            Setelah Nabi Ibrahim as. mengalami berbagai cobaan dalam menyebarkan dakwah kepada umat manusia, kemudian Nabi Ibrahim berhijrah dari negerinya ke negeri Syam, dalam perjalanannya beliau sempat singgah di Mesir dan di sanalah Nabi Ibrahim menikah dengan Hajar atas usulan istri pertamnya, Sarah.
            Adapun ketika itu Nabi Ibrahim belum dikaruniai anak seorang pun, maka dari Hajar lahirlah seorang anak lelaki. Jumhur ulama berpendapat bahwa Ismail adalah anak yang dimaksud.
            Nabi Ismail as.adalah anak pertama Nabi Ibrahim as., diriwayatkan dari ahli kitab bahwa Ismail lahir di saat Nabi Ibrahim as. berumur 86 tahun, sedangkan Ishaq, anak kedua beliau, lahir di saat Beliau as. berumur 99 tahun. Dengan demikian perbedaan umur keduanya sekitar 13 tahun.[1]
            Ismail tumbuh menjadi seorang anak yang saleh lagi berbakti, serta senantiasa bersabar akan ketentuan Allah. Semua ini juga tidak terlepas dari sifat sang Ibu yang tidak pernah meragukan ketentuan Allah atas dirinya sebagaimana yang akan kami jelaskan nantinya.

2.      Nabi Ibrahim Meninggalkan Hajar dan Ismail di Makkah
            Kisah ini diceritakan selengkapnya dalam Shahih Bukhari, dari Sa’d bin Jubair, Ibnu Abbas berkata, “Pertama kali wanita yang menggunakan ikat pinggang adalah ibu Nabi Ismail. Dia mengambil ikat pinggang untuk menghilangkan jejaknya dari Sarah.Kemudian Ibrahim membawanya bersama Ismail sementara dia (Hajar) masih menyusui Ismail –hingga beliau menempatkan di sisi Baitullah pada suatu pohon besar di atas Zamzam bagian atas masjid. Saat itu di Makkah tidak ada seorang pun yang tinggal di sana dan di sana juga tidak ada air. Ibrahim menempatkan keduanya di sana seraya meletakkan di sisi keduanya sekantong kurma dan bejana berisi air.Setelah itu Ibrahim pergi.Ibu Ismail mengikutinya dan berkata, “Wahai Ibrahim, kemanakah engkau akan pergi dan meninggalkan kami di lembah yang takbepenghuni ini?”Ibu Ismail mengucapkan perkataan itu kepada Ibrahim berulang kali.Namun Ibrahim tidak mau menoleh kepadanya.Ibu Ismail bertanya, “Apakah Allah yang memerintahkanmu melakukan hal ini?”Ibrahim menjawab, “Benar”.Ibu Ismail berkata, “Jika demikian Dia tidak akan menyia-nyiakan kami”.Kemudian dia kembali.Ibrahim berangkat dan ketika sampai di tsaniyyah (bukit kecil) dimana beliau tidak terlihat lagi (oleh Hajar dan Ismail), maka beliau menghadapkan wajahnya ke Baitullah lalu mengucapkan kalimat-kalimat ini.Beliau mengangkat kedua tangannya seraya berdo’a:

Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan Kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, Maka Jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan mereka bersyukur. (QS. Ibrahim (14) : 37)

            Ibu Ismail menyusui Ismail dan minum air yang disediakan tersebut.Ketika air di bejana itu telah habis maka dia menderita haus dan anaknya juga kehausan. Dia melihat kepada anaknya yang terus bergerak-gerak –atau perawinya mengatakan: berguling-guling sambil menghentakkan kaki ke tanah-, dia pun pergi menjauh karena tidak sanggup melihat keadaan anaknya demikian. Dia mendapati Shafa merupakan bukit paling dekat kepadanya maka ia pun menuju ke sana. Kemudian dia berdiri menghadap lembah untuk melihat apakah tampak seseorang.Namun dia tidak melihat seorang pun. Dia turun dari Shafa dan ketika sampai di lembah dia mengangkat ujung kainnya lalu berjalan sebagaimana seseorang yang kesusahan hingga melewati lembah. Kemudian dia mendatangi Marwah dan berdiri di atasnya seraya melihat apakah tampak seseorang.Namun, dia tidak melihat seorang pun.Dia melakukan hal itu sebanyak tujuh kali.” Ibnu Abbas berkata, “Nabi saw bersabda: Itulah Sa’I yang dilakukan oleh manusia di antara keduanya.”
Ketika dia menaiki bukit Marwah tiba-tiba dia mendengar suara.Hajar berkata, “Diamlah- ditujukan untuk dirinya sendiri- kemudian dia mendengar suara itu kembali. Dia berkata, “Sungguh engkau sudah didengar dan adakah engkau dapat menolong?”.Ternyata dia melihat ada Malaikat di dekat Zamzam. Malaikat itu menggali dengan tumitnya –atau beliau mengatakan: dengan sayapnya- sehingga muncul air. Ibu Ismail membuatkan kolam untuknya seraya menggerakkan tangannya seperti ini. Dia menciduk air untuk diisi ke dalam bejananya sementara air ituterus memancar setelah diciduk.
            Ibnu Abbas berkata, Nabi saw bersabda, “Semoga Allah merahmati Ibu Ismail, sekiranya ia membiarkan Zamzam -atau beliau mengatakan: tidak menciduk air itu- niscaya zamzam akan menjadi air yang mengalir (dipermukaan tanah.” Ibnu Abbas melanjutkan, “Ibu Ismail minum lalu menyusui anaknya. Malaikat berkata kepadanya: Janganlah kalian takut  akan disia-siakan. Sesungguhnya di tempat ini Baitullah yang akan dibangun oleh anak ini bersama bapaknya, dan Allah tidak akan menyia-nyiakan penduduk tempat ini. Saat itu Baitullah tampak lebih tinggi dari tanah seperti gundukan pasir.Apabila air banjir datang maka dikikis dari arah kanan dan kirinya.Ibu Ismail tetap dalam keadaan demikian hingga lewat satu rombongan suku Jurhum –atau salah satu keluarga dari suku Jurhum-.Mereka datang dari jalan Kada’ lalu singgah di hilir Makkah.Mereka melihat burung terbang berputar-putar maka mereka berkata, “Sesungguhnya burung ini sedang mengitari air.Sungguh kita mengetahui persis di lembah ini tidak ada padanya air.Mereka mengirim seorang atau dua orang yang tangkas berlari, dan ternyata mereka mendapati air.Orang-orang ini kembali dan mengabarkan kepada mereka tentang adanya air. Akhirnya mereka datang, -dia berkata: dan Ibu Ismail berada di sisi air- dan berkata, ‘Apakah engkau mengizinkan kami untuk tinggal denganmu?’ Hajar menjawab: Ya! Akan tetapi tiada hak bagi kalian pada air’.Mereka berkata, “Baiklah!”
            Ibnu Abbas berkata: Nabi saw bersabda, “Ibu Ismail menyukai hal itu, karena ia senang ada manusia (tinggal bersamanya). Mereka pun tinggal di sana lalu mengirimkan utusan kepada keluarga-keluarga mereka untuk menetap bersama mereka… (HR. Bukhari dalam Kitab Kisah Para Nabi Nomor 3364)[2]
            Dari hadits tersebut kita menemukan sosok pribadi Hajar yang sabar dan rela menerima apa yang telah Allah tetapkan baginya, bahkan dia yakin bahwa sungguh Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya. Saat iman sudah melebur dalam jiwa, maka seberat apapun perintah Allah, iman akan membenarkannya tanpa sedikit pun keraguan. Pertolongan Allah akan datang pada orang-orang seperti ini.

3.      Allah memerintahkan Ibrahim untuk Menyembelih Ismail
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku Termasuk orang-orang yang sabar". tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu Sesungguhnya Demikianlah Kami memberi Balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.(QS. Ash-Shaffat (37) : 102-107)
            Terkadang para atheis (orang-orang yang tidak beragama/tidak bertuhan) mengolok-olok kisah yang diceritakan pada ayat ini. Bagaimana mungkin seorang ayah akan membunuh anaknya hanya karena sebuah mimpi yang tidak masuk akal. Luar biasanya lagi si anak menerimanya dengan pasrah, entah karena takut kepada ayahnya atau memang si anak masih terlalu polos.
            Mungkin bagi orang-orang seperti mereka kisah ini hanya sebuah dongeng belaka. Namun bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, iameyakini bahwa seorang rasul adalah manusia pilihan, yang Allah lebihkan di antara banyak manusia-manusia lainnya. Ibrahim adalah seorang rasul, dan mimpi seorang nabi/rasul adalah wahyu.[3]
            Mengenai kronologi kisah Ibrahim dan Ismail ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang bersumber dari Ibnu Abbas ra., ia berkata, “Ketika Ibrahim as. diperintahkan untuk mengurbankan (anaknya), syaitan datang menghadangnya di tempat sa’i dan ingin mendahuluinya, tetapi Ibrahim lebih dulu sampai. Kemudian Jibril membawanya menuju Jamratul ‘Aqabah, di situ syaitan datang menghadang lagi, lalu ibrahim melemparnya dengan 7 batu kerikil. Kemudian ia melanjukan perjalanan hingga syaitan menghadangnya kembali di Jumratul Wustha, Ibrahim melempar syaitan itu lagi dengan tujuh batu kerikil. (Demikian asal muasal salah satu syari’at melempar kerikil dalam pelaksanaan ibadah haji sebagai simbol ketekadan hati untuk melawan godaan syaitan terhadap anak adam-peny).
            Kemudian Ibrahim membaringkan Isma’il di atas pelipisnya, di atas tubuh Ismail terdapat selembar baju putih. Ismail berkata, Wahai ayah, tidak ada baju lain yang bisa engkau gunakan untuk mengkafaniku selain baju ini, maka lepaskan baju ini dan kafani aku dengannya.” Ibrahim hendak melepas baju itu, lalu ia diseru dari arah belakang, “Hai Ibrahim!” Ia pun menoleh dan ternyata didapatinya seekor domba putih bertanduk dan bermata lebar.”[4] Kemudian domba itu disembelih menggantikan Ismail.
            Kebulatan tekad Ibrahim dan ketundukan Ismail demi terlaksananya perintah Allah ini menunjukkan kekokohan iman dan kesabaran mental yang patut dijadikan contoh oleh setiap mukmin.

4.      Ibrahim dan Ismail Meninggikan Baitullah
­
dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan Kami terimalah daripada Kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui".(QS. Al-Baqarah (2) : 127)
            Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa bukan Nabi Ibrahim yang as. yang pertama kali membangun Ka’bah, Beliau bersama Nabi Ismail as. hanya meninggikan pondasi Baitullah.
            Dalam surat Al-Hajj (22) : 26, Allah menunjukkan tempat Ka’bah kepada Nabi Ibrahim. Serta dinyatakan pula dalam surat Al-Imran (3) : 96:”Sesungguhnya rumah (peribadatan) pertama yang dibangun untuk manusia ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekkah). Ini berarti bahwa Baitullah telah dibangun sebelum Nabi Ibrahim as.[5]
            Kemudian setelah Kakbah sempurna, Allah memerintahkan kepada Nabi Ibrahim meyeru kepada umat manusia agar menunaikan haji ke Baitullah sebagaimana firman-Nya:
dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh. (QS. Al-Hajj (22) : 27)
           
5.      Sifat-Sifat Teladan Ismail
Ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan Dia adalah seorang Rasul dan Nabi. dan ia menyuruh ahlinya untuk bersembahyang dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya.(QS. Maryam (19) : 54-55)
            Dalam ayat ini Nabi Ismail diceritakan secara khusus, terpisah dari pada Nabi Ibrahim as., untuk mengisyaratkan bahwa mereka tidak tinggal bersama atau mereka dipisahkan tempat tinggalnya. Nabi Ibrahim bertempat tinggal di Palestina, sedangkan Nabi Ismail tinggal di Mekah.[6]
            Di sisi lain, Nabi Ismail disinggung secara khusus pada ayat ini untuk menunjukkan keutamaan Beliau, yaitu:
1.         Nabi Ismail dinamai sebagai ( (صادق الوعدShadiq al-Wa’di yakni seseorang yang ciri utamanya adalah Pemenuhan Janji. Hal tersebut terlihat jelas dalam kesungguhannya menepati janji untuk sabar dan tabah dalam dalam melaksanakan perintah Allah SWT., terutama dalam perintah Allah  kepada ayahnya agar ia disembelih.[7]
2.         (وكان رسولا نبيا) Ia adalah seorang Rasul dan Nabi yang diutus kepada kaum Jurhum yang menetap di Mekah bersamanya dan Ibundanya. Allah mengutusnya untuk menyampaikan syari’at Nabi Ibrahim as.
3.         (وكان يأمر اهله بالصلوة و الزكوة) Ia menyuruh keluarganya shalat dan membayar zakat. Setelah ia melaksanakan perintah-perintah Allah, ia pun memerintahkannya kepada keluarganya, umatnya dan orang-orang yang paling dekat kepadanya.
4.         (وكان عند ربه مرضيا) Ia di sisi Tuhannya adalah seorang yang diridhai. Semua amalnya diridhai oleh Allah, ia terpuji dan melaksanakan beban yang dipikul di atasnya pundaknya, dan tidak lalai dalam menaatinya.[8]

B.     ‘Ibrah yang Terkandung Dalam Kisah
            Beberapa pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah di atas adalah sebagai berikut:
1.      Keimanan yang teguh kepada Allah akan membuat seseorang menjalankan segala perintah-Nya dengan penuh kesabaran tanpa keraguan sedikitpun. Kita telah menyaksikan bagaimana Ibunda Hajar bersabar bersama Ismail ketika ditinggalkan di lembah Makkah yang tandus, juga Nabi Ismail yang bersabar ketika ia hendak disembelih. Di kala itu datanglah pertolongan dari Allah untuk menolong mereka, sungguh Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya.
2.      Kisah Nabi Ismail dan ibunda beliau, Siti Hajar, mengandung beberapa landasan syari’at yang dilaksanakan dalam manasik haji, yaitu berlari antara bukit safa dan marwah, dan penyembelihan qurban.
3.      Makkah adalah tempat yang dimuliakan, dan menjadi pusat peribadatan umat manusia. Di dalamnya terdapat kakbah (baitullah) yang didirikan oleh Nabi Ibrahim as. dan anak beliau, Nabi Ismail as.


BAB III
KESIMPULAN


            Anak sulung Nabi Ibrahim as. adalah Nabi Ismail as, dari istrinya Siti Hajar. Saat Nabi Ismail as. masih kecil, Allah swt memerintahkan Nabi Ibrahim untuk menempatkan Nabi Ismail dan ibundanya di Makkah, Siti Hajar pun sabar menjalaninya.
            Siti Hajar adalah wanita yang sangat tabah, ia pernah diuji dengan cobaan yang sangat berat, ia tidak menemukan air untuk dirinya dan anaknya. Kemudian ia berusaha mencari air kemana-mana, berlari bolak-balik antara bukit shafa dan marwah, sampai akhirnya Allah memberinya pertolongan, Malaikat Jibril menggali sebuah mata air yang kemudian disebut dengan zam-zam.  Kejadian ini kemudian dijadikan landasan syari’at berlari kecil dalam manasik haji.
            Begitu pula dengan Nabis Ismail as., ia merupakan contoh teladan sebagai seorang anak yang patuh menjalankan perintah Allah dan orang tuanya. Ketika ia mencapai usia baligh, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim as. untuk menyembelihnya. Ini juga merupakan cobaan yang sangat berat bagi seorang ayah, namun Ismail tanpa ragu mengucapkan kepada ayahnya, “Lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu wahai Ayah, Insya Allah engkau akan mendapatiku sebagai orang yang bersabar.” Lalu Allah mengganti Ismail dengan kibas, sejak itu dikenal pengurbanan yang kemudian dilaksanakan setiap hari raya idul adha.
            Saat Ismail tumbuh dewasa, Nabi Ibrahim mengajak Nabi Ismail untuk mendirikan Kakbah, melaksanakan manasik haji dan menyeru kepada manusia seluruhnya agar menunaikan haji ke baitullah.
            Demikianlah kisah Nabi Ismail as. dan Ibunda Siti Hajar yang dikisahkan oleh Allah swt, supaya dijadikan sebagai contoh teladan bagi umat manusia.


 
Daftar Pustaka



IbnuKatsir, ShahihTafsirIbnuKatsirJilid 7 ditahqiqolehSyaikhShafiyurrahman al-Mubarakfuri, dkkterj. Abu Ihsan al-Atsari , (Bogor: PustakaIbnuKatsir, 2006)

IbnuHajar al-Asqalani, FathulBaariJilid 17 terj.Amiruddin, (Jakarta: PustakaAzzam, 2008)

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah jilid 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2002)

Ahmad Mustafa Al-Maghari, Tafsir Al-Maghari terj. Bahrun Abubakar, Lc. Dkk. (Semarang: Toha Putra, 1993)


[1]LihatIbnuKatsir, ShahihTafsirIbnuKatsirJilid 7 ditahqiqolehSyaikhShafiyurrahman al-Mubarakfuri, dkkterj. Abu Ihsan al-Atsari , (Bogor: PustakaIbnuKatsir, 2006), hal. 618
[2]IbnuHajar al-Asqalani, FathulBaariJilid 17 terj.Amiruddin, (Jakarta: PustakaAzzam, 2008), hal. 343-347
[3]LihatIbnuKatsir, ShahihTafsirIbnuKatsirJilid 7…, hal. 619
[4]LihatIbnuKatsir, ShahihTafsirIbnuKatsirJilid 7…, hal. 620
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah jilid 1, (Jakarta: Lentera Hati, 2002) Hal. 324
[6] Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah jilid 8, Hal. 207
[7]Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah jilid 8, Hal. 208
[8]Ahmad Mustafa Al-Maghari, Tafsir Al-Maghari terj. Bahrun Abubakar, Lc. Dkk. (Semarang: Toha Putra, 1993), Hal. 109-110

No comments: