Wednesday, 26 September 2012

Beberapa Perkataan Ali Bin Abi Thalib mengenai Al-Quran


Amirul mukminin Ali Bin Abi Thalib pernah berkata:

“Berpeganglah pada Kitabullah. Dialah tali yang kuat dan cahaya yang terang. Dialah obat, penyembuh yang berguna. Dialah air yang sejuk, penghilang dahaga. Dialah tempat berlindung bagi orang yang berpegang, dan tempat keselamatan bagi orang yang bergantung. Dia tidak pernah miring sehingga perlu ditegakkan, dan tidak pernah meyimpang sehingga perlu diluruskan. Dia tidak pernah usang walaupun sering dibaca, dan tidak pernah membosankan walaupun sering didengar. Siapa pun yang berbicara dengannya pasti benar, dan siapa pun yang mengamalkannya pasti menang."

“Ketahuilah bahwa Al-Quran adalah pemberi nasehat yang tidak pernah menipu. Pemberi petunjuk yang tidak pernah menyesatkan. Dan pembicara yang tidak pernah berbohong. Siapa pun yang duduk bersamanya (mengamalkannya), maka Al-Quran akan menambah sesuatu kepadanya atau mengurangi sesuatu daripadanya; yaitu menambah petunjuk kepadanya atau mengurangi kesesatan daripadanya. Dan ketahuilah bahwa seseorang tidak memerlukan apapun setelah Al-Quran.[1] Maka jadikanlah dia sebagai penyembuh dari penyakit-penyakit kalaian, dan jadikanlah ia sebagai peringan kesusahan-kesusahan kalian. Sesungguhnya di dalam Al-Quran terdapat kesembuhan dari penyakit yang paling berbahaya yaitu penyakit kufur, nifaq, penyelewengan dan kesesatan."

"Sesungguhnya Al-Quran itu zahirnya sangat luas dan batinnya sangat dalam. Keajaiban-keajaibannya tidak pernah habis. Keindahan-keindahannya tidak terbatas. Segala kegelapan tidak akan musnah kecuali dengannya."

Sumber: Menolak Isu Perubahan Al-Quran (Ukdzubah Tahrif Al-Quran baina Syi’ah wa Sunnah)
Rasul Ja’fariyan, hal. 21-22.




[1] Ungkapan ini tidak lantas menjadi dalil bagi para pengingkar sunnah untuk meninggalkan Sunnah sebagai pentunjuk kedua setelah Al-Quran. Ali bin Abi Thalib ra. Hanya hendak menegaskan akan keagungan Al-Quran itu sendiri.

Saturday, 22 September 2012

Ungkapan-Ungkapan Imam asy-Syafi'i

Ungkapan-Ungkapan Imam Asy-Syafi’i

- Menuntut ilmu lebih utama daripada shalat sunnah.
- Beliau berkata kepada beberapa ahli hadits, “Kalian adalah apoteker, sedang kami (fuqaha’) adalah dokternya.
- Barangsiapa mempelajari Al-Quran, niscaya harga dirinya menjadi tinggi. Barangsiapa bicara tentang fiqh kedudukannya akan naik. Barangsiapa menulis hadits, niscaya hujjahnya akan menjadi kuat. Barangsiapa mendalami bahasa (arab), niscaya lembut tabi’atnya. Barangsiapa mendalami masalah hisab (ilmu perhitungan), pendapatnya menjadi baik. Barangsiapa tidak menjaga dirinya, ilmunya tidak akan bermamfaat baginya.
- Riya’ dalam urusan agama akan mengeraskan hati dan mengakibatkan kedengkian.
- Beliau berkata kepada ar-Rabi’, “Janganlah kamu terlalu jauh membicarakan kekurangan shabat Rasulullah Saw. Karena berarti musuhmu besok adalah Nabi Saw.
- Alangkah inginnya, banyak orang yang mempelajari ilmu ini dariku, namun jangan ada sedikitpun dari ilmu itu yang dinisbatkan kepadaku.
- Saya tidak pernah mendebat seseorang kecuali untuk menasihati.
- Jika ada ucapanku yang bertentangan dengan dalil, maka lemparkanlah ucapanku itu ke tembok.
- Ilmu itu ada dua macam: Ilmu agama yaitu fiqih; dan ilmu dnia yaitu kedokteran. Sedang yang lainnya hanyalah penderitaan dan kesia-siaan.” Beliau berkomentar mengenai ilmu kedokteran, “Buanglah sepertiga ilmu dan serahkan ia kepada orang-orang Yahudi dan Nashrani.”
- Beribadahlah kamu sebelum menjadi seorang pimpinan, karena jika kamu telah menjadi pimpinan, kamu tidak akan mampu beribadah.
- Seseorang tidak akan mencapai kedudukan sebagai orang besar hingga kefakiran menimpanya dan dia mendahulukan kefakiran atas segalanya.”
- Keridhaan orang banyak adalah suatu tujuan yang tidak mungkin tercapai. Tiada jalan untuk bisa selamat dari mereka. Karena itu kamu harus melakukan apa yang bermamfaat untukmu dan tekunilah ia.
- Ilmu itu adalah yang memberikan mamfaat, bukan yang dihafal.
- Seandainya saya tahu kalau air yang segar it bisa mengurangi kehormatanku, niscaya saya tidak akan meminumnya.
- Orang yang berakal adalah orang yang akalnya mengikatnya dari segala yang tercela.
- Muslihat manusia lebih kejam daripada muslihat hewan.

Saturday, 15 September 2012

Ucapan Ali ra. mengenai Keberanian Abu Bakar ra. dalam Khutbahnya


Ucapan Ali ra. mengenai Keberanian Abu Bakar ra. dalam Khutbahnya


Imam al-Bazzar meriwayatkan dalam kitab Musnadnya, dari Muhammad bin ‘Aqil, dari Ali ra., bahwa dia mengkhutbahi umat manusia. Katanya, “Wahai sekalian manusia! Siapakah orang yang paling berani?” Mereka menjawab, “Engkau, wahai Amirul Mukminin!” Dia berkata, “Ketahuilah, kalau aku, tiada seorang musuh pun yang maju sendirian dari barisannya untuk menantangku bertanding, melainkan aku akan melayaninya. Akan tetapi orang yang paling berani adalah Abu Bakar ra. Pernah kami membuat sebuah rumah untuk bernaung bagi Rasulullah Saw. Lalu kami berembug, “Siapa yang akan bersama Rasulullah Saw., agar tiada seorang musyrik pun yang mengganggu beliau?” Demi Allah! Tiada seorang pun di antara kami yang mendekat, selain Abu Bakar ra. sambil menganggakat pedangnya di atas kepala Rasulullah Saw. Tiada seorang pun yang mendekati beliau, melainkan Abu Bakar ra. pasti mendekatinya. Itulah manusia yang paling berani.” Ali melanjutkan, “Aku telah melihat Rasulullah Saw. dikerumuni oleh orang-orang Quraisy, sebagian memarahi beliau dan sebagiannya menguncang-guncangkan badan beliau. Mereka berkat, “kamu telah menjadikan Tuhan-Tuhan itu sebagai satu Tuhan saja,” Demi Allah! Tiada seorang pun di antara kami yang mendekat, selain Abu Bakar. Dia memukul sebagian mereka, melawan sebagian lainnya, dan mengguncang sebagian lainnya, seraya berkata, “Celaka kalian! Apakah kalian akan membunuh orang karena dia menyatakan: ‘Tuhanku adalah Allah’?” Saat itu Ali mengangkat kain burdah yang dipakainya, lalu menangis sampai jenggotnya basah. Dia berkata, “Aku bersumpah kepada kalian dengan ama Allah! Apakah seorang Mukmin dari kalangan keluarga Fir'aun ’ang lebih baik, ataukah Abu Bakar?” Mereka terdiam. Maka Ali ra. berkata, “Demi Allah! Sungguh, waktu sesaat Abu Bakar lebih baik daripada sepenuh bumi yang berisi orang Mukmin dari kalangan keluarga Fir’aun. Ia adalah orang yang menyembunyikan keimanannya, sedang Abu Bakar adalah orang yang menampakkan keimanannya.”

Kemudian al-Bazzar berkata: Kami tidak mengetahui hadits tersebut diriwayatkan kecuali dari jalan ini. Demikian tercantum dalam kitab al-Bidayah (juz 3, hal. 271). Al-Haitsami berkata (juz 9, hal. 47): di dalam sanadnya terdapat orang yang tidak kukenal.

Sumber: Kisah-Kisah Teladan Sahabat Nabi (Syekh Muhammad Yusuf Al-Kandahlawi)

Monday, 10 September 2012

Menyederhanakan Masalah?


Menyederhanakan Masalah
Musthafa Mahmud (Novelis besar Mesir)


SEORANG tua bijak berkata:
“Perhatikanlah wahai sahabatku, sederhanakanlah masalah  dan ringkaslah kehidupan dalam satu titik, niscaya kaudapatkan kebahagiaan dalam pencarianmu.”

Salah seorang di antara kami berkata kepada dirinya sendiri, “Jika aku dapat mengerjakan dan menyelesaikan semua kertas kerja ini, pasti hilang semua kesulitan.”

Orang lainnya berkata, “Jika kunikahi perempuan itu, niscaya aku menjadi orang yang paling berbahagia di muka bumi.” 

 Ada juga yang bilang, “Jika aku pindah ke Amerika, pasti aku dapat mewujudkan seluruh impianku.”

“Seandainya aku sembuh dari penyakit ini, yang sekian lama menyiksa dan menghabiskan hidupku dalam kelemahan, niscaya aku akan menjadi manusia mulia, manusia terhormat yang diagungkan masyarakat.

Seandainya...
Seandainya...
Seandainya...

Selalu saja manusia ingin menyederhanakan masalah ke dalam satu titik. Dulu, Sigmund Freud menyederhanakan jiwa manusia secara ekstrem sehingga mengatakan bahwa seluruh prilaku, kepribadian, dan bangunan psikologis manusia tergantung pada satu aspek saja, yakni aspek seksual.
 
Ia salah...
Ia keliru...

Sebab, kehidupan tak menerima penyederhanaan. Kehidupan manusia terbangun dari berbagai aspek internal dan eksternal yang sangat rumit. Semua itu membangun dan membentuk kepribadian serta jiwa manusia.

Jika kau menyederhanakan jiwa manusia maka kau telah memenggal kehidupannya secara periodik, masa per masa, hari per hari, detik per detik.

Tentu saja, jika kita mau, seluruh makhluk, manusia, hewan, tumbuhan, dan seluruh isi semesta dapat disederhanakan secara ekstrem bahwa hakikat dan inti semuanyan adalah air dan tanah.

Tetapi apakah permasalahannya sesederhana itu?

Penyederhanaan hanya akan membunuh hakikat. Inilah yang dilakukan dan dialami setiap orang ketika ia menggambarkan bahwa seluruh kehidupannya dimulai ketika ia dapat menyunting wanita idamannya. Jika wanita itu berpaling darinya, sirnalah kehidupannya, an jika ia mendapatkannya, sempurnalah seluruh hidupnya, seakan-akan telah meraih kesempurnaan dunia dan akhirat.

Pandangan hidup seperti itu hanya akan melemahkan dan melelahkan manusia. Akibatnya, ia tidak lagi dapat merasakan nikmatnya makan, tidur, dan istirahat. Ia menjadi orang gila, layaknya Majnun yang terus mengejar Laila... Aspirin dan obat-obatan penenang menjadi konsumsinya sehari-hari untuk melarikan diri dari rasa sakit dan tekanan batin.

Seandainya Majnun mendapatkan kekasihnya, Laila, dan menikahinya serta mewujudkan mimpi-mimpinya yang selama ini menghiasi tidur dan jaganya, tentu ia akan sembuh dari kegilaannya. Dan ia dapatkan kembali pikirannya di saat pertama ia bersanding di atas pembaringan kekasih tercinta.

Tentu saja, semua pandangan dan mimpi-mimpi indahnya, serta kelembutan rasa akan menyembur keluar dari pikirannya, memancar membanjiri kekasihnya, Laila. Ia akan mencela hari-hari ketika ia senandungkan kasidah-kasidah cinta dan syair-syair pujian bagi kekasihnya yang tercinta. Mungkin ia akan berdiri seraya mencela dan mengutuk, lalu duduk lagi d depan pintu kemah seraya menyenandungkan kasidah yang mencela bulan, bintang, dan pepohonan, serta kehidupan yang tak ubahnya kehidupan seekor binatang.

Tetapi Allah tidak menghendakinya meraih impiannya. Dia tak membuatnya mampu mewujudkan angan-angan dan keinginannya. Allah hendak menjadikan angan-angan dan khayalan sebagai ujian dan cobaan bagi manusia, sebagaimana Dia menjadikan hakikat sebagai pendorong yang membangkitkan manusia. Allah menjadikan semua ciptaan-Nya, yang baik dan yang buruk, yang terpuji dan yang tercela, dan yang hina maupun sempurna, sebagai ujian bagi jiwa-jiwa manusia.

Sumber: The Real Face of Dajjal (dengan sedikit revisi dari saya)