Friday, 1 May 2015

Makalah : Gharib Al-Quran



A. Pendahuluan
            Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad Saw dan kaumnya,merupakan kewajiban umatnya untuk membacanya, mempelajarinya, sekaligus mengamalkannya. Al-Quran diturunkan sebagai petunjuk kepada manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
            Akan tetapi, ternyata ada sebagian kata atau lafal yang sulit dipahami, bahkan oleh orang Arab sekalipun. Lafal-lafal seperti inilah seperti yang dipelajari dalam ilmu Gharibal-Quran.
            Berikut ini kita akan membahas mengenai 4 lafal yang dinilai gharib oleh para sahabat, yakni pada surat ‘Abasa ayat 31, surat Fathir ayat 1, surat Maryam ayat 13, dan surat al-A’raf ayat 89.
            Namun sebelum beranjak ke inti pembahasan makalah, penulis memaparkan terlebih dahulu sedikit mengenai gambaran apa itu Gharibal-Quran dan pembagiannya, guna memudahkan pemahaman pembaca nantinya.

B. Pengertian Gharib Al-Quran
            Kata gharib dapat kita temukan dalam hadits Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Abu Hurairah ra. secara marfu’:[1]
اَعْرِبُوا القُرْآنَ والْتَمِسُوا غَرَائِبَهُ
“I’rabilah al-Quran dan cermatilah kata-kata asingnya (gharaib) olehmu.”
            Gharaib adalah jamak dari kata gharib. Gharib secara lughawibermakna “jauh” atau “sesuatu yang bukan dari suatu kaum”, adapun gharib dalam pembicaraan ialah “tersembunyi” atau “tidak terang arti perkataannya”.[2]Gharib al-Quran ialah “lafal di dalam al-Quran yang dianggap asing atau sulit dipahami oleh bangsa Arab, khususnya para sahabat yang kepada mereka diturunkan al-Quran”.
            Imam as-Suyuthi berkata, “Bagi orang yang mendalami ilmu ini hendaknya kembali pada kitab-kitab para ahli sastra bahasa Arab. Adapun para sahabat meskipun tidak mendalami bidang ini namun mereka adalah orang Arab asli yang fashih dalam berbahasa Arab dan kepada merekalah Al-Quran diturunkan. Mereka mencukupkan dengan bahasa mereka ketika ada kata yang mereka anggap asing dan tidak berkomentar sedikitpun tentang itu.”[3]
           
C. Macam-Macam Lafal yang Gharib
            Pembahasan ini berdasarkan analisis penulis dalam memahami ke-gharib-an lafal yang terdapat dalam al-Quran. Menurut penulis ada dua macam ke-gharib-an lafal yang dijumpai para sahabat di dalam al-Quran, yakni:
1.      Gharib lafal pada lafal dan maknanya
            Maksudnya lafal yang memang jarang atau tidak pernah didengar oleh para sahabat dikarenakan tidak biasa digunakan dalam percakapan orang Arab di masa mereka. Sehingga karenanya para sahabat merasa kesulitan dalam memahami makna lafal yang gharib tersebut.

2.      Gharib lafal pada penempatan artinya di dalamkalimat
            Bisa saja lafalnya sering digunakan dalam percakapan sehari-hari, akan tetapi pada konteks kalimat tertentu makna yang dikandung lafal menjadi tidak sesuai apabila diartikan dengan makna yang biasa dipahami. Seperti pada lafal faathirdaniftah yang akan dibahas nantinya. Wallahu a’lam.

D. Beberapa Ayat-Ayat yang Gharib
1. Lafal ابّا dalam Surat ‘Abasa ayat 31
            Diriwayatkan bahwa Sayyidina Abu Bakar ra. ditanyai tentang makna kata ini, lalu beliau menjawab: “Langit mana tempat aku berlindung, bumi mana tempat aku berpijak, kalau aku mengucapkan menyangkut kitab Allah sesuatu yang tidak kuketahui.” Ucapan serupa dikemukakan oleh Umar bin al-Khattab ketika beliau membaca ayat-ayat di atas. Beliau berkata: “Semua ini telah kita ketahui, tetapi apakah abban itu?” Lalu, beliau mengangkat tongkat yang dipegangnya dan berkata: “Inilah yang merupakan pemaksaan. Tidak ada celaan bagimu, wahai putra Ibu Umar, jika tidak mengetahui apakah abban itu.” Lalu beliau menghadap kepada siapa yang di sekelilingnya seraya berkata, “Ikutilah apa yang dijelaskan kepada kamu dari yang tercantum dalam kitab suci ini dan amalkanlah,dan apa yang kamu tidak ketahui, serahkanlah kepada Tuhan.”[4]
            Bahwa Sayyidina Abu Bakar, Umar ra. dan sekian banyak sahabat lain tidak mengetahuinya boleh jadi karena kata tersebut ada dalam perbendaharaan bahasa Arab dan pernah digunakan oleh generasi dahulu, tetapi tidak populer lagi.[5]Gharib-nya ayat ini terletak pada lafalnya yang jarang atau tidak pernah didengar oleh orang-orang Arab, khususnya para sahabat yang mencoba memahami makna ayat.
            Ibnu Katsir mengomentari bahwa hadits mengenai Umar ra. di atas adalah shahih, bahwasanya Umar ra. ingin mengetahui makna abba, baik dari segi bentuknya, jenisnya, ataupun rupanya. Menurut Ibnu Katsir abba adalah sejenis tumbuhan yang ada di bumi, hal ini dipahami berdasarkan ayat sebelumnya (QS. 80 : 27-31). Berikut teks arab yang penulis temukan dari penjelasan Ibnu Katsir:
فهو إسناد صحيح، وقد رواه غير واحد عن أنس، به. وهذا محمول على أنه أراد أن يعرف شكله وجنسه وعينه، وإلا فهو وكل من قرأ هذه الآية يعلم أنه من نبات الأرض، لقوله: (فَأَنْبَتْنَا فِيهَا حَبًّا * وَعِنَبًا وَقَضْبًا * وَزَيْتُونًا وَنَخْلا * وَحَدَائِقَ غُلْبًا * وَفَاكِهَةً وَأَبًّا )[6]
            Dalam suatu riwayat Ibnu Abbas berkata, “Adapun al-abb adalah dedaunan yang dimakan oleh binatang ternak, bukan oleh manusia.” Di riwayat lain disebutkan, “Yakni rerumputan untuk binatang ternak.”[7]
           
2. Lafal فاطر dalam Surat Fathir ayat 1 dan Surat Al-An’am ayat 14
            Ibnu Abbas ra. berkata, ”Dahulu saya tidak mengerti makna, faathiru al-samaawaati wa al-ardh, Hingga dua orang badui menemui saya, dan keduanya berselisih perihal sebuah sumur. Salah seorang berkata kepada temannya; Ana fathartuha, yakni,”Ana abtada’tuha hafraha (Aku yang memulai menggali dan membuatnya)” Ibnu Abbas ra. juga berkata faathiru al-samaawaati wa al-ardhartinya badii’ual-samaawaati wa al-ardh (Pencipta pertama langit dan bumi), atau dalam riwayat lain disebutkan khaliqu al-samawati wa al-ardhi (Pencipta langit dan bumi dari suatu ketiaadaan).[8] Di dalam tafsir Al-Maraghi lafal faathir berasal dari faathara asy-syaian yakni mengadakan sesuatu tanpa contoh sebelumnya.[9]
            Ke-gharib-an lafal ini terletak pada maknanya, dalam pembicaraan sehari-harifathara diartikandengan makna membelah,seperti pada ayat “idzaa al-samawaat infatharat”.Namun pada ayat ini kata fathara mengandung arti menciptakan.

3. Lafal حنانا di dalam surat Maryam ayat 13
            Lafal ini asing dalam pembicaraan orang-orang Arab, Ibnu Abbas ra. tidak mengetahui apa maksud dari kata tersebut.
            Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir dari Sa’id bin Jubair, sesungguhnya ia ditanya tentang firman Allah: wa hanaanan min ladunna maka ia menjawab, “Aku telah menanyakannya kepada Ibnu Abbas, namun ia tidak menjawab apapun.”
            Dikeluarkan dari jalur Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Demi Allah, aku tidak tahu apa itu hanaanan.”
            Diriwayatkan oleh al-Firyabi dari Isra’il dari Simak bin Harbi dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Aku mengetahui semua yang ada dalam Al-Quran kecuali empat hal: ghislin, wa hanaanan, awwah, dan arraqiim.”[10]
            Ke-gharib-an lafal ini terletak pada asingnya penggunaan kata tersebut dalam pembicaraan orang Arab sehari-hari. Adapun penafsiran para mufassir dalam mengartikan lafal hanananadalah sebagai berikut:
            Dalam Tafsir ath-Thabari sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Katsir dalam tafsir beliau, Ali bin Abi Thalhah menuturkan dari Ibnu Abbas, ia mengatakan, wa hanaanan min ladunna yakni rahmat dari sisi Kami.”[11]
            Dalam sebuah riwayat yang panjang, Nafi’ bin Azraq menanyakan kepada Ibnu Abbas perihal lafal hananan tersebut apakah dikenal oleh bangsa Arab sebelumnya? Beliau menjawab, “Ya. Tidakkah kamu mendengar Tharfah bin Abd berkata:[12]
ابا مُنْذِرٍ اَفْنَيْتَ فَاسْتَبْقِ بَعْضَنَا           حَنَانَيْكَ بَعْضُ الشَّرِّ اَهْوَنُ مِنْ بَعْض
Hai Abu Mundzir, kamu telah menghabiskan! Sisakan sebagian untuk kami
Dua kasih sayangmu, sebagian kejahatan lebih ringan daripada yang lain
            Selain pengertian di atas, para mufassir juga menafsirkan kata tersebut dengan makna lain, namun semuanya masih saling berdekatan.
            Mujahid mengatakan maknanya adalah tha’attufan min rabbihi‘alaihi (perlakuan lemah lembut dari Tuhannya).[13]
            Ibnu Zaid berkata maknanya adalah mahabbah‘alaihi (rasa cinta terhadapnya).
            Atha’ bin Abi Rabah mengatakan maknanya adalah ta’zhiman min ladunna(kemuliaan dari sisi kami).

4. Lafal افتح di dalam Surat Al-A’raf ayat 89

            Sebagaimana pada ayat-ayat sebelumnya penulis cantumkan, pada ayat ini para sahabat pun merasa kesulitan dalam memaknai suatu lafal yang gharib.
            Ibnu Abbas mengatakan, “Saya sendiri tidak mengerti apa maksud dari firman Allah Ta’ala:
رَبَّنَاافْتَحْبَيْنَنَاوَبَيْنَقَوْمِنَابِالْحَقِّ
Sehingga saya mendengar anak perempuan Dzul Yaqin berkata kepada suaminya:
تَعَالَىاُفَـاتِحْكَ
kemarilah, aku beri kamu keputusan, dan berkata seorang wanita badui:
بَيْنِى وَ بَيْنَـكَ الفَتَاحُ
telah ada keputusan antara aku dan kamu.[14]
            Jadi فتح dalam ayat tersebut bermakna memberikan keputusan, Al-Maraghi menyebutkan bahwa pengertian seperti ini bersifat abstrak, hanya bisa diketahui dengan jalan berpikir. Fataha dalam pengertian demikian juga dapat ditemukan dalam percakapan orang arab serta syair-syair seperti:
وَفَتَحَ الحَاكِمُ بَيْنَهُـمْ وَمَا اَحْسَنَ فَتَاحَتُهُ
“Hakim memutusi di antara mereka dan sungguh baik sekali putusannya itu.”

اَلاَ ابَلِّغُ بَنِى وَهَبٍ رَسُولاً   ͏
                              بِاَيِّ عَنْ فَتَاحَتِهِمْ غَنِيٌّ  ͏
“Ketahuilah, telah aku kirim kepada Bani Wahab seorang duta untuk menyatakan, bahwa aku tak perlu putusan mereka.”
            Ke-gharib-an iftah dalam ayat ini terletak pada jarangnya penggunaan makna yang dikandung.Kata iftah biasanya dipakai dalam arti kata membuka atau menaklukkan. Menggunakan lafal ini dalam makna memutuskan (قضى) jarang dipakai oleh orang Arab.

E. Apakah 4 Ayat di atas memiliki Asbabun Nuzul
            Keempat ayat di atas termasuk ayat-ayat yang tidak memiliki riwayat asbabun nuzul. Penulis telah merujuk ke kitab Asbabun Nuzul karangan Imam as-Suyuthi dan Asbabun Nuzul karangan K.H.Q. Shaleh dan H.A.A. Dahlan. Namun tidak menemukan asbabun nuzul ayat-ayat tersebut.

F. Apakah Ayat-Ayat yang Diperdebatkan Ta’wilnya juga Ayat-Ayat yang Gharib?
            Penulis merasa kesulitan dalam memahami ayat-ayat yang diperdebatkan ta’wilnya oleh ulama ilmu Kalam, seperti yadullahi fauqa aidiihim atau tsumma istawa ‘alal ‘arsy. Apakah ayat-ayat seperti ini juga dibahas dalam ilmu Gharibal-Quran atau tidak.
            Penulis meneliti kedua ayat di atas akan tetapi tidak menemukannya dicantumkan dalam kitab-kitab yang membahas gharibal-Quran, seperti Al-Itqan fi ‘Ulumal-Quran karya Jalaluddin As-Suyuthi, At-Tibyan fi Tafsir Gharibal-Quran karya Ibnu Al-Ha’im, dan Tafsir Gharibal-Quran karya As-Sajastani.

G. Apakah Lafal-Lafal A’jam (non-Arab) juga Merupakan Lafal-Lafal yang Gharib?
            Penulis juga tidak mengetahui dengan jelas apakah kosakata yang bukan Arab juga termasuk lafal yang gharib atau tidak? Bahkan sebenarnya adanya kosakata non-Aran dalam al-Quran masih diperselisihkan oleh para Ulama. Imam As-Suyuthi sendiri di dalam kitab Al-Itqan fi Ulumal-Quran memisahkan pembahasan lafal a’jam dengan gharib al-quran.Wallahu a’lam.

H. Bukankah al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab? Kenapa ada sebagian sahabat yang tidak mengetahui maknanya?
            Penulis menjawab pertanyaan ini dengan mengutip sebuah pendapat yang disebutkan di dalam kitab Al-Itqan fi Ulumal-Quran, yakni: “Tetapi jangkauan bahasa Arab itu sangat luas sehingga tidak mengherankan jika ada beberapa ulama besar yang tidak mengetahui beberapa di antaranya.”[15]

I. Kesimpulan
a.       Gharibal-Quran ialah “lafal di dalam Al-Quran yang dianggap asing atau sulit dipahami oleh bangsa Arab, khususnya para sahabat yang kepada mereka diturunkan al-Quran.”
b.      Gharib terbagi kepada dua, yaitu:
1.      Gharib lafal pada lafal dan maknanya
2.      Gharib lafal pada penempatan artinya di dalam kalimat
c.       Makna 4 lafal yang dianggap gharib:
1. Lafal abba diartikan dengan makna rerumputan bagi binatang ternak
2. Lafal fathir diartikan dengan makna menciptakan
3. Lafal hananan diartikan sebagai kasih sayang atau rahmat
4. Lafal iftah diartikan sebagai memutuskan (qadha).
d.      Ke-gharib-an lafal dalam al-Quran bisa saja terjadi pada para sahabat ataupun pada orang Arab lainnya, dikarenakan kosakata bahasa Arab itu sangat luas/banyak, sehingga tidak semua orang mampu memahami semua kosakata tersebut.


Daftar Pustaka



Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumi al-Quran. (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, tt)
Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumil Quran terj. Tim Editor Indiva, (Surakarta: Indiva Pustaka, 2008)
Louis Ma’luf dan Bernard Totel al-Yassul, Al-Munjid. (Beirut: Dar el-Macreq SARL, 1986)
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran,  (Jakarta: Lentera Hati, 2002)
Ibnu Katsir, Shahih Tafsir Ibnu Katsir terj. Tim Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta: Penerbit Ibnu Katsir, 2011)
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi terj. Bahrun Abubakar dkk., (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1992)
Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir. Software mawsowaat_quran.


[1] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumial-Quran. (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah, tt), hal. 172
[2] Louis Ma’luf dan Bernard Totel al-Yassul, Al-Munjid. (Beirut: Maktabah Syarqiyyah, 1986), hal 547
[3]Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumil Quran Jilid I terj. Tim Editor Indiva, (Surakarta: Indiva Pustaka, 2008),hal. 448
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran Jilid 15,  (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 87
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran Jilid 15..., hal. 87
[6] Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu Katsir. Software mawsowaat_quran.
[7] Ibnu Katsir, Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 9terj. Tim Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta: Penerbit Ibnu Katsir, 2011), hal. 473
[8] Ibnu Katsir, Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 7terj. Tim Pustaka Ibnu Katsir, (Jakarta: Penerbit Ibnu Katsir, 2011), hal. 456
[9] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi Juz 22 terj. Bahrun Abubakar dkk., (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1992), hal. 177
[10] Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumial-Quran Jilid I terj..., hal. 448
[11]Ibnu Katsir, Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 5terj. Tim Pustaka Ibnu Katsir, Jakarta: Penerbit Ibnu Katsir, 2011), hal. 620
[12] Jalauddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumial-Quran..., hal. 184
[13] Ibnu Katsir, Shahih Tafsir Ibnu Katsir Jilid 5..., hal. 620
[14] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi Juz 9 terj. Bahrun Abubakar dkk., (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1992), hal. 14
[15]Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulumi al-Quran Jilid I terj..., hal. 542