BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam penentuan hukum Islam, terdapat empat sumber utama yang dijadikan dalil syara’ dan disepakati di kalangan jumhur ulama, yaitu Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas.
Di samping keempat dalil syara’ tersebut, terdapat dalil-dalil lain yang dikemukakan oleh sebagian ulama, seperti istihsan, mashlahah al-mursalah, ‘urf, istishab, syar’u man qablana, dan qaul ash-shahabi.
Adapun pada pembahasan selanjutnya, penulis hanya akan membahas mengenai dalil ‘urf. Di dalam kaidah ushul fiqh dikenal bahwa hukum dapat berubah karena perubahan ‘urf. Para ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah juga sering menggunakan ‘urf sebagai dalil dibandingkan ulama lainnya. Bahkan pendapat Imam Syafi’i sendiri tidak terlepas daripada ‘urf atau tradisi masyarakat setempat.
B. Rumusan Masalah
1. Mengetahui definisi atau pengertian ‘urf dalam kajian ushul fiqh.
2. Mengetahui pembagian ‘urf dalam kajian ushul fiqh.
3. Mengetahui syarat-syarat ‘urf yang dijadikan sebagai sumber hukum.
4. Memahami kedudukan ‘urf sebagai sumber hukum dalam Islam.
5. Memahami tentang suatu hukum dapat berubah karena perubahan ‘urf.
PEMBAHASAN
A. Pengertian ‘Urf
Dari segi bahasa (etimologi), ‘urf berasal dari kata yang terdiri dari huruf ‘ain, ra, dan fa (عرف) yang berarti “kenal”. Dari kata ini muncul kata ma’rifah (yang dikenal atau pengetahuan), ta’rif (definisi), ma’ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata ‘urf (kebiasaan yang baik).[1]
Dr. Abdul Wahab Khalaf dalam bukunya menyebutkan ‘urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan, atau dalam kaitannya meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut adat.[2]
Menurut ahli Syara`,‘urfbermakna adat. Dengan kata lain‘urf dan adat itu tidak ada perbedaan.‘Urf tentang perbuatan manusia misalnya, seperti jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan ijab qabul. Untuk ‘urf yang bersifat ucapan atau perkataan, misalnya saling pengertian terhadap pengertian al-walad, yang lafaz tersebut mutlak berarti anak laki-laki dan bukan anak wanita.
B. Pembagian ‘Urf
‘Urf dapat dibagi atas beberapa bagian.Ditinjau dari segi sifatnya,’urf terbagi kepada ‘urf qauliy dan ‘urf ‘amaliy :
a. ‘Urf qauliy
Ialah ‘urf yang berupa perkataan, seperti kata walad (وَلَدٌ). Menurut bahasa, walad berarti anak, termasuk di dalamnya anak laki-laki dan perempuan. Namun dalam kebiasaan sehari-hari biasa diartikan dengan anak laki-laki saja.
b. ‘Urf ‘amaliy
Ialah ‘Urf yang berupa perbuatan. Contohnya seperti jual-beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shigat atau ijab qabul. Padahal menurut syara’, iajb qabul merupakan salah satu dari rukun jual beli. Tetapi dikarenakan telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak terjadi hal-hal yang negatif, maka syara’ membolehkannya.
Adapun ditinjau dari segi ruang lingkupnya, ‘urf terbagi kepada ‘urf ‘amm dan ‘urf khash:
a. ‘Urf ‘amm
Ialah suatu tradisi atau kebiasaan yang berlaku pada masyarakat luas, tidak dibatasi oleh kedaerahan ataupun wilayah. Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M. A menyebutkan dalam bukunya bahwa ‘urf ‘amm yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi sebagian besar wilayah masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas.[3] Misalnya seperti kebiasaan masyarakat secara umum yang menggunakan uang kertas sebagai alat tukar dalam jual beli, ataupun kebiasaan masyarakat yang memuliakan setiap orang yang mempunyai kelebihan di antara masyarakat tersebut.
b. ‘Urf Khash[4]
Ialah suatu tradisi atau kebiasaan yang berlaku pada masyarakat tertentu dan di wilayah tertentu. Contohnya seperti dalam hal pernikahan, tradisi suku Batak adalah tidak bolehnya menikah laki-laki dan perempuan yang semarga, dikarenakan mereka menganggap antara laki-laki dan perempuan itu masih mempunyai pertalian darah. Adapun kebiasaan sebagian bangsa Arab, menikahkan anaknya dengan anak saudara laki-lakinya adalah lebih utama, dikarenakan pernikahan itu akan membuat hubungan kekeluargaan lebih rapat.
Selanjutnya ditinjau dari segi keabsahannya, ‘urf terbagi kepada ‘urf shahih dan ‘urf fasid:
a. ‘Urf Shahih
Ialah suatu tradisi atau kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, serta tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula menggugurkan kewajiban.[5] Contohnya seperti tradisi masyarakat Aceh dan Indonesia umumnya, menggunakan kain sarung dan kopiah/peci untuk shalat. Ataupun tradisi masyarakat membuat kue-kue ketika hari raya Islam, membawa kado atau hadiah pada acara walimatul ‘ursy (pesta pernikahan), dan lain-lain.
b. ‘Urf Fasid
Ialah suatu tradisi atau kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, serta menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban.[6]
Contohnya seperti tradisi masyarakat yang menyajikan sesajen di kuburan atau di tempat-tempat angker lainnya. Hal tersebut merupakan kemusyrikan dan sangat bertentangan dengan dalil syara’, kebiasaan yang seperti inilah yang harus diberantas dan tidak dapat dijadikan panutan. Ada pula seperti tradisi sebagian masyarakat yang merayakan hari ulang tahun seseorang seperti perayaan yang biasa dilakukan oleh orang-orang kafir. Ataupun adat kebiasaan masyarakat yang sering kita lihat pada saat adanya event-event akbar seperti piala dunia, di mana orang-orang saling bertaruh menentukan siapa pemenang ataupun yang kalah.
C. Syarat-Syarat ‘Urf yang Dijadikan Sumber Hukum
Kembali Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M. A. menjelaskan dalam bukunya bahwa ‘urf yang disepakati oleh seluruh ulama keberlakuannya adalah Al-‘urf ash-shahih al-‘amm al-muththarid (‘urf yang benar dan hukumnya berlaku secara umum), dengan syarat sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengan nash syara’ yang bersifat qath’I, dan
2. Tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syara’ yang bersifat prinsip.
D. Kedudukan ‘Urf sebagai Sumber Hukum dalam Islam
Sebagaimana yang telah dinyatakan bahwa ‘urf yang dapat dijadikan sumber hukum atau dalil dalam Islam adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Adapun kehujjahan ‘urf sebagai dalil didasarkan atas alasan-alasan berikut ini:
a. Firman Allah dalam surat Al-A’raf (7): 199
“Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”
Melalui ayat di atas Allah swt. memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang ma’ruf. Ma’ruf itu sendiri ialah yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang, dan yang sesuai dengan nilai-nilai keislaman.
b. Ucapan sahabat Rasulullah saw., Abdullah bin Mas’ud berkata:[7]
فَمَا رَآهُ المُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَ مَا رَآه المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيْءٌ
Artinya : “Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu yang dinilai buruk oleh kaum muslimin adalah buruk di sisi Allah.”
Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di atas, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasan baik yang berlaku di dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syari’at Islam, merupakan sesuatu yang baik pula di sisi Allah. Oleh karena itu, kebiasaan semacam itu patut untuk dijaga dan dipelihara.
Dengan demikian, ulama merumuskan kaidah hukum yang berkaitan dengan ‘urf antara lain sebagai berikut :
العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Adat kebiasaan dapat menjadi hukum.”
الثَّابِتُ بِالْعُرْفِ ثَابِتٌ بِدَلِيْلٍ شَرْعِيٍّ
“Yang berlaku berdasarkan ‘urf, (seperti) berlaku berdasarkan dalil syara.”
كُلُّ مَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ مُطْلَقًا وَلاَ ضَابِطَ لَهُ فِيْهِ وَلاَ فِى اللُّغَةِ يَرْجِعُ فِيْهِ إِلَى العُرْفِ
“Semua ketentuan syara’ yang bersifat mutlak dan tidak ada pembatasan di dalamnya dan tidak juga terdapat batasan di segi bahasanya, maka dirujuk kepada ‘urf.”
Oleh ulama Hanafiyyah, ‘urf itu didahulukan atas qiyâs khafî (qiyâs yang tidak ditemukannya ‘illah secara jelas) dan juga didahulukan atas nash yang umum, dalam arti ‘urf itu men-takhshîs nash yang umum. Ulama Malikiyyah juga demikian, menjadikan ‘urf yang hidup di kalangan penduduk Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum.Ulama Syâfi`iyyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal yang tidak menemukan ketentuan batasan dalamsyara` maupun dalam penggunaan bahasa.[8] Berikut ini beberapa contoh penerapan ‘urf dalam hukum Islam:
Pendapat ulama hanafiyyah yang menyatakan bahwa sesorang yang bersumpah tidak akan makan daging, kemudian dia makan ikan maka tidaklah dianggap sesorang itu melanggar sumpahnya. Karena berdasarkan kebiasaan ‘urf, kata daging (لَحْمٌ) tidak diartikan dengan kata ikan (سَمَكٌ).
Adapun contoh lainnya dalam penggunaan ‘urf yaitu tentang usia seseorang itu dikatakan baligh, tentang ukuran sedikit banyaknya najis yang dima’afkan, atau tentang ukuran timbangan yang belum dikenal pada masa Rasulullah saw. dan masih banyak contoh yang lainnya berkenaan masalah ‘urf.
E. Hukum Dapat Berubah karena Perubahan ‘Urf
Hukum-hukum yang berdasarkan ‘urf itu sendiri dapat berubah menurut perubahan ‘urf pada suatu masa atau perubahan lingkungan.[9] Oleh para fuqaha’ mengatakan mengenai perbedaan-perbedaan yang timbul dalam masalah fiqh, merupakan perbedaan yang terjadi disebabkan perbedaan ‘urf, bukannya perbedaan hujjah atau dalil yang lainnya.
Sebagai contoh di dalam mazhab Syafi’i dikenal adanya qaul qadim dan qaul jadid Imam Syafi’i. Hal ini disebabkan perbedaan ‘urf di lingkungan tempat tinggal Imam Syafi’I sendiri.
Dalam konteks ini dikenal kaidah yang menyebutkan :
الحُكْمُ يَتَغَيَّرُ بِتَغَيُّرِ الأَزْمِنَةِ وَالأَمْكِنَةِ وَالأَحْوَالِ وَالأَشْخَاصِ وَالبِيْئَاتِ
Suatu hukum brubah seiring dengan terjadinya perubahan waktu, tempat, keadaan, individu, dan lingkungan.
Dengan demikian, pendapat yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang kaku serta ketinggalan zaman adalah salah. Islam berjalan seiring dengan perkembangannya zaman. Namun perlu diperhatikan bahwa hukum-hukum yang dapat berubah di sini terjadi pada hukum yang berdasarkan dalil zhanni. Dalam hukum yang berdasarkan dalil qath’i yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya maka tidak boleh ada perubahan, seperti perintah mengerjakan shalat, puasa, zakat, pengharaman riba, dan sebagainya.
Hukum yang dapat berubah karena ‘urf ini dapat kita contohkan seperti pendapat Abu Hanifah bahwa kesaksian sesorang yang dhahirnya tidak fasik dapat dijadikan saksi, kecuali pada kasus hudud dan qisas. Akan tetapi, murid beliau Abu Yusuf menyatakan bahwa kesaksian baru dapat diterima setelah melakukan penyelidikan yang mendalam terhadap sifat-sifat saksi tersebut. Pendapat Imam Abu Hanifah sejalan dengan masanya karena pada umumnya akhlak dan agama masyarakat masih dipegang teguh dan terpelihara. Demikian pula halnya dengan pendapat Abu Yusuf sesuai dengan kondisi pada masanya, di mana masyarakat pada umumnya mulai mengalami kemerosotan agama dan akhlak.
BAB III
K E S I M P U L A N
‘Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan, atau dalam kaitannya meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut adat.
‘Urf dapat dibagi atas beberapa bagian. Ditinjau dari segi sifatnya,’urf terbagi kepada ‘urf qauliy dan ‘urf ‘amaliy. Adapun ditinjau dari segi ruang lingkupnya, ‘urf terbagi kepada ‘urf ‘amm dan ‘urf khash. Selanjutnya ditinjau dari segi keabsahannya, ‘urf terbagi kepada ‘urf shahih dan ‘urf fasid.
‘Urf yang disepakati oleh seluruh ulama keberlakuannya adalah Al-‘urf ash-shahih al-‘amm al-muththarid (‘urf yang benar dan hukumnya berlaku secara umum), dengan syarat sebagai berikut:
- Tidak bertentangan dengan nash syara’ yang bersifat qath’I, dan
- Tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syara’ yang bersifat prinsip.
Kedudukan ‘urf sebagai sumber hukum dalam Islam ialah ‘urf dapat dijadikan sumber hukum atau dalil dalam Islam apabila ‘urf tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
Suatu hukum yang dapat berubah disebabkan ‘urf dapat terjadi pada hukum-hukum yang berdasarkan dalil zhanni saja, sedangkan hukum-hukum seperti perintah shalat, puasa, zakat, larangan riba dan sebagainya yang berdasarkan dalil qath’i tidak dapat diganggu gugat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dahlan, Dr. H. Abd. Rahman, M. A. 2010. Ushul Fiqh. Jakarta : Amza.
2. Khalaf, Prof. Dr. Abdul Wahab. 1997. Ilmu Ushulul Fiqh. Bandung : Gema Risalah Press.
3. Al-Qardhawi, Dr. Yusuf. 2007. Keluasan dan Keluwesan Hukum Islam. Semarang : Disa Utama Semarang.
[1]Dahlan, Dr. H. Abd. Rahman, M. A. 2010. Ushul Fiqh. Jakarta : Amza, hal. 209
[2]Khalaf, Prof. Dr. Abdul Wahab. 1997. Ilmu Ushulul Fiqh. Bandung : Gema Risalah Press, hal. 149
[3]Dahlan, Dr. H. Abd. Rahman, M. A. 2010. Ushul Fiqh. Jakarta : Amza, hal. 210
[4]Adakalanya ‘urf khash dapat berubah menjadi ‘urf ‘amm, hal ini terjadi dikarenakan perkembangan masyarakat dan perubahan zaman. Di mana kebiasaan suatu masyarakat tertentu, diambil atau diadaptasi oleh masyarakat lain sehingga menjadi suatu kebiasaan yang berlaku secara umum. Apalagi di era globalisasi seperti saat ini (peny-).
[5]Al-Qardhawi, Dr. Yusuf. 2007. Keluasan danKeluwesan Hukum Islam. Semarang : Disa Utama Semarang, hal 149
[6]Ibid, hal. 150
[7]Dahlan, Dr. H. Abd. Rahman, M. A. 2010. Ushul Fiqh. Jakarta : Amza, hal. 212
[9]Al-Qardhawi, Dr. Yusuf. 2007. Keluasan danKeluwesan Hukum Islam. Semarang : Disa Utama Semarang, hal 152
No comments:
Post a Comment