Saturday, 27 October 2012

Rasa ini!


Dia pergi, dan aku tak pernah tahu kapan dia kan kembali. Merindukannya terkadang menyesakkan dada, tak ada obat yang mampu mengobati. Asaku nak mengungkapkan rasa dalam hati, tapi aku bukan siapa-siapa. Seorang pelajar miskin yang belum mapan menjalani hidup. Mungkin orang tuaku memang kaya, tapi serasa menjadi pengecut menggantungkan diri kepada mereka.

Seberapa pun besarnya rasa ini padanya, tak kan kulanggar prinsip yang telah tertanam semenjak kecil. Tak kan kunodai kehormatannya dengan hubungan yang tak pasti, meski harus kupendam rasa ini sedalam-dalamnya.

Terkadang aku khawatir, nantinya ada seseorang yang memasuki hidupnya dan membuyarkan semua harapanku. Entahlah, apapun yang terjadi, Allah yang menentukan. Siapapun dia, dia tidak lebih besar daripada Tuhan yang menciptakanku, dari tiada menjadi ada, memberiku berbagai macam nikmat, yang tak seorang pun bisa menggantikannya, hanya pada-Nya ku berserah diri.

Huft, perasaanku telah lega untuk saat ini… Semoga dia senantiasa dalam perlindungan Allah. Semoga Allah menunjuki kita ke jalan lurus-Nya.

“Allahumma Arinal Haqqa Haqqaw warzuqnat tiba’ah, wa arinal bathila bathilaw warzuqnaj tinabah”

Thursday, 18 October 2012

Al-Kaisu: Orang yang Cerdas



Rasulullah Saw. bersabda:
عن ابي يعلى شداد ابن اوس رضي الله عنه قال قال رسول الله ص م الكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ ، وَعَمِلَ لِمَا بعدَ المَوتِ ، والعَاجِزُ مَنْ أتْبَعَ نَفْسَهُ هَواهَا وَتَمنَّى عَلَى اللهِ (رواه الترميذي)

Dari Abi Ya’la Syaddad bin Aus ra. berkata, Rasulullah Saw bersabda: Orang yang cerdas itu adalah orang yang mengendalikan hawa nafsunya, dan mengerjakan untuk kehidupan setelah kematian. Dan yang lemah itu adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berandai-andai kepada Allah. (HR. Turmudzi)

Kata dana pada hadits tersebut disyarah oleh para ulama dengan beberapa pengertian, di antaranya al-khudu’ yang bermakna ketundukan atau ketaatan. Orang pintar dalam hadits ini bukanlah orang yang bangga dengan ijazah sarjananya, atau bangga dengan gelar keprofesorannya, atau orang yang pandai dengan ilmu retorika bahasa, mampu menguasai massa demi kepentingan politiknya, atau dengan hal-hal lainnya.

Al-Kaisu, orang yang cerdas yang dimaksudkan oleh Rasulullah Saw adalah orang yang mampu dengan bijak mengendalikan hawa nafsunya untuk tunduk dan taat terhadap perintah Allah Swt serta menjahui segala larangan-larangan-Nya. Ungkapan senada dapat kita temukan juga dalam hadits Rasulullah Saw lain, yang menyebutkan bahwa orang yang paling berani itu adalah orang yang mampu menundukkan hawa nafsunya. Dan juga jihad yang lebih besar daripada peperangan mengangkat senjata, adalah jihad melawan hawa nafsu.

Wahai saudaraku, betapa banyak orang pintar di dunia ini yang tidak sanggup menguasai keinginan hawa nafsunya sehingga ia menjerumuskan dirinya dalam kehinaan di pandangan Allah Swt. Na'udzubillahi min dzalik.

Salah satu contohnya seperti sebagian para pejabat-pejabat yang suka melakukan korupsi, menelantarkan kepentingan rakyat demi kesejahteraan hidup pribadi, adakah ia itu pandai ataukah bodoh? Mungkin jika dipandang dari strata sosial dan jenjang akademik yang diperolehnya maka ia kita golongkan kepada orang pandai, tapi sebenarnya ia adalah orang yang lemah akalnya dan pengecut. Hawa nafsulah yang menguasai dirinya, bukan dirinya yang menguasai hawa nafsu. Merekalah al-‘ajiz, orang-orang lemah yang dimaksud dalam hadits al-kaisu man dana nafsahu wa ‘amila lima ba’dal maut, wal ‘ajizu manittaba’a nafsahu hawaha wa tamanna ‘alallahi.

Demikian pula dengan orang-orang pintar yang menipu orang lain yang dianggapnya bodoh, pahadal sebenarnya dirinya sendirilah yang tertipu. Layaknya orang-orang munafik yang hendak menipu orang-orang yang beriman mereka tidak menyadari bahwa merekalah sebenarnya orang-orang bodoh lagi tertipu, (hal ini dapat kita temukan, dijelaskan dalam surat al-baqarah ayat 9-13)

Adapun makna lain dari lafaz dana selain al-khudu’, ialah muhasabah, yakni mengintropeksi diri. Jadi orang-orang yang cerdas itu adalah orang yang senantiasa mengintropeksi dirinya, dan melakukan perbaikan. Orang-orang seperti ini memiliki visi dan misi jauh ke depan, tidak hanya menyiapkan bekal untuk dunia, tapi juga untuk akhiratnya. Demikianlah Islam mengajarkan umatnya menjadi orang-orang yang sukses dunia akhirat. Memotivasi untuk optimis dan berbuat lebih baik dan yang terbaik, dengan menyandarkannya semua kepada Allah Swt.

Ada beberapa hal yang perlu ditinjau dalam melakukan muhasabah;

1. Aspek Ibadah ( الجَانِبُ التَّعَبُّدِي )

Pertama kali yang harus dievaluasi setiap muslim adalah aspek ibadah. Karena ibadah merupakan tujuan utama diciptakannya manusia di muka bumi ini; ‘Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah kepada-Ku.’ (QS. 51 : 56).

Setiap musim harus berusaha untuk meningkatkan amal ibadahnya. Mulai dari niat, tatacara, pelaksanaan, penghayatan, dan pemberian dampaknya dalam kehidupan. Sudahkah kita ikhlas selama ini beribadah hanya kepada Allah semata, atau ada niat lain yang terkandung dalam hati, riya umpamanya? Sudahkah benar cara saya beribadah, apa demikian ibadah yang dicontohkan oleh Rasulullah yang dijelaskan oleh para fuqaha’? Mengapa saya tidak mencari tahu?

Sebatas mana kekhusyukan saya dalam menjalankannya? Tidakkah dalam hati saya terbesit kepentingan dunia dan terlupa akan akhirat? Dan apakah shalat, zakat, puasa, shadaqah dan lain-lain halnya mempunyai dampak dalam kehidupan saya, atau hanya sia-sia belaka? Apa yang perlu diperbaiki dari itu semua?
                 
2. Aspek Pekerjaan & Perolehan Rizki ( الجانب العملي والتكسبي )

Allah Swt mewanti-wanti kita agar bekerja dan memperoleh penghasilan yang halal, bukan dengan cara yang bathil yang merugikan orang lain, sebagaimana firman-Nya:
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. Annisa/ 4 : 29)

Imam As-Suyuti ketika menjelaskan tentang memakan harta dengan cara batil, beliau menafsirkannya dengan ( بطريق غير مشروع مخالف حكم الله تعالى ) ‘dengan cara tidak sesuai dengan syariat dan bertentangan dengan hukum Allah SWT’. Artinya segala macam bentuk usaha, yang pekerjaannya, cara pelaksanaannya, tidak syar’i dan bertentangan dengan hukum Islam, maka itu adalah batil.

3. Aspek Kehidupan Sosial Keislaman ( الجانب الحياة الإجتماعية الإسلامية )

Dan aspek yang tidak kalah penting untuk dievaluasi adalah aspek kehidupan sosial, dalam artian hubungan muamalah, akhlak dan adab dengan sesama manusia.

Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?’ Sahabat menjawab, ‘Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki perhiasan.’ Rasulullah SAW bersabda, ‘Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa) menuduh, mencela, memakan harta orang lain, memukul (mengintimidasi) orang lain. Maka orang-orang tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya. Hingga manakala pahala kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka dan dicampakkan pada dirinya, lalu dia pun dicampakkan ke dalam api neraka. (HR. Muslim)

Melalaikan aspek ini, dapat menjadi orang yang muflis. Datang ke akhirat dengan membawa pahala amal ibadah yang begitu banyak, namun bersamaan dengan itu, ia juga datang ke akhirat dengan membawa dosa karena akhlaknya terhadap orang lain; ia mencaci, mencela, menuduh, memfitnah, memakan harta tetangganya, dan perbuatan buruk lainnya, sehingga pahala kebaikannya habis untuk menutupi keburukannya.
Bahkan karena kebaikannya tidak cukup untuk menutupi keburukannya tersebut, maka dosa-dosa orang-orang yang dizaliminya tersebut dicampakkan pada dirinya. Hingga jadilah ia tidak memiliki apa-apa, selain hanya dosa dan dosa, akibat tidak memperhatikan aspek ini. Na’udzubillah min dzalik.

Oleh karenanya, hendaknya aspek ini dievaluasi. Bagaiamana selama ini kita bersosialisasi dengan masyarakat, bergaul dengan tetangga, beraktivitas dengan teman kerja, berakhlak di tengah orang ramai, dan sebagainya. Jika terdapat aib atau cacat di sana, maka perbaikilah.

4. Aspek Da’wah ( الجانب الدعوي )

Seorang guru saya pernah berkata, “Tidak akan ada suatu perubahan atau perbaikan, jika tidak ada dakwah atau seruan kepadanya. Begitu pentingnya dakwah ini sehingga ia menjadi fardhu ‘ain bagi setiap muslim, Rasulullah Saw sendiri bersabda, “balligh ‘anni walau ayah” (sampaikanlah dariku walau hanya sepotong ayat). Perintah ini diserukan untuk seluruh jama’ah kaum muslimin. Namun ada yang perlu diingat dan direnungi, untuk apa kita berdakwah. Apa tujuan kita berdakwah?

Kita berdakwah untuk Allah dan Rasul-Nya, menjunjung tinggi agama yang telah dipilihkannya kepada bani Adam, yaitu Islam sebagai rahmatal lil’alamin. Dakwah menyerukan kepada kebenaran Islam, La ilaha illallah, Muhammadarrasulullah, dengan berbagai pemahaman, namun hakikatnya selalu merujuk kepada Tauhid, mengesakan Allah Swt dan menghambakan diri pada-Nya. Jangan sampai dakwah kita kehilangan tujuan, dan terjebak dalam fanatisme kelompok atau mazhabiyah, sehingga terjadilah perpecahan internal kaum muslimin, antara sunni dan syi’i, antara fuqaha’ dan muhadditsin, antara organisasi Islam yang satu dengan yang lainnya. Padahal semua berlabel Islam, hawa nafsu dan syaitanlah membisikkan agar kita bertengkar sesama Islam.

Dalam penghujung ceramah singkat ini, ada sebuah ayat yang patut direnungi oleh umat Islam dewasa ini yang mudah terpancing oleh isu-isu iftiraqul ummah, perpecahan umat. Allah Swt. berfirman:

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." (QS. Ali Imran [3] : 103)


(Dari berbagai sumber)

Thursday, 11 October 2012

Segelas Air


By: Syukri Aba

Syahdan, setelah menyelesaikan kajian fiqh bab thaharah, seorang guru hendak menguji pemahaman murid-muridnya, maka dibuatlah ujian. Para murid dipanggil satu per satu ke dalam ruangan khusus, mereka dihadapkan pada sebuah meja dengan segelas air di atasnya.

“Badar!”

“Labbaik Syaikh!”

“Sebutkan 7 macam air yang dapat digunakan untuk bersuci!”

“Air langit (hujan), laut, sungai, embun, sumur, es, dan air mata air?”

“Thayyib, lalu apakah air di depanmu itu dapat digunakan bersuci?”

“Air apa ini ya Syaikh?”

“Air Aqua, langsung diambil dari sumber mata air asli.”

“Tentu saja ya Syaikh.”

“Baiklah, jika begitu berwudhulah dengan air tersebut!”

Si murid kelihatan bingung, bagaimana caranya berwudhu dengan air yang sedikit ini. Tapi karena takut kepada Sang Guru, ia mulai mencoba membasuh muka dan anggota wajib saja. Namun kenyataannya air sudah habis sampai membasuh siku. Alhasil, murid pertama pun gagal.

Murid kedua, ketiga, keempat dan seterusnya pun telah gagal. Para murid mulai berpikir ujian ini hanya permainan sang guru belaka.

Setelah tidak ada yang berhasil, kini tibalah giliran murid terakhir yang dikenal paling bandel di antara mereka namun sebenarnya memiliki pikiran yang tajam dan lidah yang fashih. Dengan tenang ia masuk ke dalam ruang ujian.

“Apakah air ini bisa digunakan untuk bersuci?”

“Tentu.”

“Maka cobalah berwudhu dengannya!”

Si murid mengangkat gelas tersebut dan langsung meminum air yang ada di dalam gelas sampai tak tersisa sama sekali. Sang Guru tidak marah, malah ada senyum tipis tampak pada wajahnya.

“Mengapa engkau meminumnya Madun? Bukankah aku menyuruhmu untuk berwudhu dengan air tersebut?”

“Wahai syaikh yang mulia, bukannya aku hendak menentang kehendakmu, melainkan bukankah engkau pernah mengajarkan kami jika air yang tersisa hanya sedikit, dan hanya cukup untuk minum, maka hendaknya air itu lebih baik digunakan untuk air minum dan makruh digunakan berwudhu. Jika engkau memang mengharuskanku untuk berwudhu, maka cukuplah aku gantikan dengan tayammun.”

“Masya Allah, engkau lulus dengan angka sempurna Madun!”

Syahdan, satu-satunya murid yang lulus dalam ujian hanya si Madun. Adapun murid-murid lainnya wajib mengulang kembali bab thaharah karena dianggap belum paham sepenuhnya.


Jum’at, 12 Oktober 2012
9.20 WIB

Wednesday, 26 September 2012

Beberapa Perkataan Ali Bin Abi Thalib mengenai Al-Quran


Amirul mukminin Ali Bin Abi Thalib pernah berkata:

“Berpeganglah pada Kitabullah. Dialah tali yang kuat dan cahaya yang terang. Dialah obat, penyembuh yang berguna. Dialah air yang sejuk, penghilang dahaga. Dialah tempat berlindung bagi orang yang berpegang, dan tempat keselamatan bagi orang yang bergantung. Dia tidak pernah miring sehingga perlu ditegakkan, dan tidak pernah meyimpang sehingga perlu diluruskan. Dia tidak pernah usang walaupun sering dibaca, dan tidak pernah membosankan walaupun sering didengar. Siapa pun yang berbicara dengannya pasti benar, dan siapa pun yang mengamalkannya pasti menang."

“Ketahuilah bahwa Al-Quran adalah pemberi nasehat yang tidak pernah menipu. Pemberi petunjuk yang tidak pernah menyesatkan. Dan pembicara yang tidak pernah berbohong. Siapa pun yang duduk bersamanya (mengamalkannya), maka Al-Quran akan menambah sesuatu kepadanya atau mengurangi sesuatu daripadanya; yaitu menambah petunjuk kepadanya atau mengurangi kesesatan daripadanya. Dan ketahuilah bahwa seseorang tidak memerlukan apapun setelah Al-Quran.[1] Maka jadikanlah dia sebagai penyembuh dari penyakit-penyakit kalaian, dan jadikanlah ia sebagai peringan kesusahan-kesusahan kalian. Sesungguhnya di dalam Al-Quran terdapat kesembuhan dari penyakit yang paling berbahaya yaitu penyakit kufur, nifaq, penyelewengan dan kesesatan."

"Sesungguhnya Al-Quran itu zahirnya sangat luas dan batinnya sangat dalam. Keajaiban-keajaibannya tidak pernah habis. Keindahan-keindahannya tidak terbatas. Segala kegelapan tidak akan musnah kecuali dengannya."

Sumber: Menolak Isu Perubahan Al-Quran (Ukdzubah Tahrif Al-Quran baina Syi’ah wa Sunnah)
Rasul Ja’fariyan, hal. 21-22.




[1] Ungkapan ini tidak lantas menjadi dalil bagi para pengingkar sunnah untuk meninggalkan Sunnah sebagai pentunjuk kedua setelah Al-Quran. Ali bin Abi Thalib ra. Hanya hendak menegaskan akan keagungan Al-Quran itu sendiri.