Saturday, 18 February 2012

Ushul Fiqh : 'Urf dan Pembagiannya


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
            Di dalam penentuan hukum Islam, terdapat empat sumber utama yang dijadikan dalil syara’ dan disepakati di kalangan jumhur ulama, yaitu Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas.
            Di samping keempat dalil syara’ tersebut, terdapat dalil-dalil lain yang dikemukakan oleh sebagian ulama, seperti istihsan, mashlahah al-mursalah, ‘urf, istishab, syar’u man qablana, dan qaul ash-shahabi.
            Adapun pada pembahasan selanjutnya, penulis hanya akan membahas mengenai dalil ‘urf. Di dalam kaidah ushul fiqh dikenal bahwa hukum dapat berubah karena perubahan ‘urf. Para ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah juga sering menggunakan ‘urf sebagai dalil dibandingkan ulama lainnya. Bahkan pendapat Imam Syafi’i sendiri tidak terlepas daripada ‘urf atau tradisi masyarakat setempat.

B.     Rumusan Masalah
1.      Mengetahui definisi atau pengertian ‘urf dalam kajian ushul fiqh.
2.      Mengetahui pembagian ‘urf dalam kajian ushul fiqh.
3.      Mengetahui syarat-syarat ‘urf yang dijadikan sebagai sumber hukum.
4.      Memahami kedudukan ‘urf sebagai sumber hukum dalam Islam.
5.      Memahami tentang suatu hukum dapat berubah karena perubahan ‘urf.

 BAB II
PEMBAHASAN


A.    Pengertian ‘Urf
            Dari segi bahasa (etimologi), ‘urf berasal dari kata yang terdiri dari huruf ‘ain, ra, dan fa (عرف) yang berarti “kenal”. Dari kata ini muncul kata ma’rifah (yang dikenal atau pengetahuan), ta’rif (definisi), ma’ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata ‘urf (kebiasaan yang baik).[1]
            Dr. Abdul Wahab Khalaf dalam bukunya menyebutkan ‘urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan, atau dalam kaitannya meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut adat.[2]
            Menurut ahli Syara`,‘urfbermakna adat. Dengan kata lain‘urf dan adat itu tidak ada perbedaan.‘Urf tentang perbuatan manusia misalnya, seperti jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan tidak mengucapkan ijab qabul. Untuk ‘urf yang bersifat ucapan atau perkataan, misalnya saling pengertian terhadap pengertian al-walad, yang lafaz tersebut mutlak berarti anak laki-laki dan bukan anak wanita.

B.     Pembagian ‘Urf
            ‘Urf dapat dibagi atas beberapa bagian.Ditinjau dari segi sifatnya,’urf terbagi kepada ‘urf qauliy dan ‘urf ‘amaliy :
a.       ‘Urf qauliy
            Ialah ‘urf yang berupa perkataan, seperti kata walad (وَلَدٌ). Menurut bahasa, walad berarti anak, termasuk di dalamnya anak laki-laki dan perempuan. Namun dalam kebiasaan sehari-hari biasa diartikan dengan anak laki-laki saja.
b.      ‘Urf ‘amaliy
            Ialah ‘Urf yang berupa perbuatan. Contohnya seperti jual-beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan shigat atau ijab qabul. Padahal menurut syara’, iajb qabul merupakan salah satu dari rukun jual beli. Tetapi dikarenakan telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat dan tidak terjadi hal-hal yang negatif, maka syara’ membolehkannya.
            Adapun ditinjau dari segi ruang lingkupnya, ‘urf terbagi kepada ‘urf ‘amm dan ‘urf khash:
a.       ‘Urf ‘amm
            Ialah suatu tradisi atau kebiasaan yang berlaku pada masyarakat luas, tidak dibatasi oleh kedaerahan ataupun wilayah. Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M. A menyebutkan dalam bukunya bahwa ‘urf ‘amm yaitu kebiasaan yang bersifat umum dan berlaku bagi sebagian besar wilayah masyarakat dalam berbagai wilayah yang luas.[3] Misalnya seperti kebiasaan masyarakat secara umum yang menggunakan uang kertas sebagai alat tukar dalam jual beli, ataupun kebiasaan masyarakat yang memuliakan setiap orang yang mempunyai kelebihan di antara masyarakat tersebut.
b.      ‘Urf Khash[4]
            Ialah suatu tradisi atau kebiasaan yang berlaku pada masyarakat tertentu dan di wilayah tertentu. Contohnya seperti dalam hal pernikahan, tradisi suku Batak adalah tidak bolehnya menikah laki-laki dan perempuan yang semarga, dikarenakan mereka menganggap antara laki-laki dan perempuan itu masih mempunyai  pertalian darah. Adapun kebiasaan sebagian bangsa Arab, menikahkan anaknya dengan anak saudara laki-lakinya adalah lebih utama, dikarenakan pernikahan itu akan membuat hubungan kekeluargaan lebih rapat.
            Selanjutnya ditinjau dari segi keabsahannya, ‘urf terbagi kepada ‘urf shahih dan ‘urf fasid:
a.       ‘Urf Shahih
            Ialah suatu tradisi atau  kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, serta tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula menggugurkan kewajiban.[5] Contohnya seperti tradisi masyarakat Aceh dan Indonesia umumnya, menggunakan kain sarung dan kopiah/peci untuk shalat. Ataupun tradisi masyarakat membuat kue-kue ketika hari raya Islam, membawa kado atau hadiah pada acara walimatul ‘ursy (pesta pernikahan), dan lain-lain.

b.      ‘Urf Fasid
            Ialah suatu tradisi atau  kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits, serta menghalalkan yang haram dan menggugurkan kewajiban.[6]
            Contohnya seperti tradisi masyarakat yang menyajikan sesajen di kuburan atau di tempat-tempat angker lainnya. Hal tersebut merupakan kemusyrikan dan sangat bertentangan dengan dalil syara’, kebiasaan yang seperti inilah yang harus diberantas dan tidak dapat dijadikan panutan. Ada pula seperti tradisi sebagian masyarakat yang merayakan hari ulang tahun seseorang seperti perayaan yang biasa dilakukan oleh orang-orang kafir. Ataupun adat kebiasaan masyarakat yang sering kita lihat pada saat adanya event-event akbar seperti piala dunia, di mana orang-orang saling bertaruh menentukan siapa pemenang ataupun yang kalah.

C.    Syarat-Syarat ‘Urf yang Dijadikan Sumber Hukum
           Kembali Dr. H. Abd. Rahman Dahlan, M. A. menjelaskan dalam bukunya bahwa ‘urf yang disepakati oleh seluruh ulama keberlakuannya adalah Al-‘urf ash-shahih al-‘amm al-muththarid (‘urf yang benar dan hukumnya berlaku secara umum), dengan syarat sebagai berikut:
1.      Tidak bertentangan dengan nash syara’ yang bersifat qath’I, dan
2.      Tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syara’ yang bersifat prinsip.

D.    Kedudukan ‘Urf sebagai Sumber Hukum dalam Islam
            Sebagaimana yang telah dinyatakan bahwa ‘urf yang dapat dijadikan sumber hukum atau dalil dalam Islam adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Adapun kehujjahan ‘urf sebagai dalil didasarkan atas alasan-alasan berikut ini:
a.       Firman Allah dalam surat Al-A’raf (7):  199

“Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”


                Melalui ayat di atas Allah swt. memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang ma’ruf. Ma’ruf itu sendiri ialah yang dinilai oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang, dan yang sesuai dengan nilai-nilai keislaman.
b.      Ucapan sahabat Rasulullah saw., Abdullah bin Mas’ud berkata:[7]

فَمَا رَآهُ المُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَ مَا رَآه المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ سَيْءٌ


Artinya : “Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu yang dinilai buruk oleh kaum muslimin adalah buruk di sisi Allah.”
            Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di atas, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasan baik yang berlaku di dalam masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syari’at Islam, merupakan sesuatu yang baik pula di sisi Allah. Oleh karena itu, kebiasaan semacam itu patut untuk dijaga dan dipelihara.
            Dengan demikian, ulama merumuskan kaidah hukum yang berkaitan dengan ‘urf antara lain sebagai berikut :
العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Adat kebiasaan dapat menjadi hukum.”
الثَّابِتُ بِالْعُرْفِ ثَابِتٌ بِدَلِيْلٍ شَرْعِيٍّ
“Yang berlaku berdasarkan ‘urf, (seperti) berlaku berdasarkan dalil syara.”
كُلُّ مَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ مُطْلَقًا وَلاَ ضَابِطَ لَهُ فِيْهِ وَلاَ فِى اللُّغَةِ يَرْجِعُ فِيْهِ إِلَى العُرْفِ
“Semua ketentuan syara’ yang bersifat mutlak dan tidak ada pembatasan di dalamnya dan tidak juga terdapat batasan di segi bahasanya, maka dirujuk kepada ‘urf.”
            Oleh ulama Hanafiyyah, ‘urf itu didahulukan atas qiyâs khafî (qiyâs yang tidak ditemukannya ‘illah secara jelas) dan juga didahulukan atas nash yang umum, dalam arti ‘urf itu men-takhshîs nash yang umum. Ulama Malikiyyah juga demikian, menjadikan ‘urf yang hidup di kalangan penduduk Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum.Ulama Syâfi`iyyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal yang tidak menemukan ketentuan batasan dalamsyara` maupun dalam penggunaan bahasa.[8] Berikut ini beberapa contoh penerapan ‘urf dalam hukum Islam:
            Pendapat ulama hanafiyyah yang menyatakan bahwa sesorang yang bersumpah tidak akan makan daging, kemudian dia makan ikan maka tidaklah dianggap sesorang itu melanggar sumpahnya. Karena berdasarkan kebiasaan ‘urf, kata daging (لَحْمٌ) tidak diartikan dengan kata ikan (سَمَكٌ).
            Adapun contoh lainnya dalam penggunaan ‘urf yaitu tentang usia seseorang itu dikatakan baligh, tentang ukuran sedikit banyaknya najis yang dima’afkan, atau tentang ukuran timbangan yang belum dikenal pada masa Rasulullah saw. dan masih banyak contoh yang lainnya berkenaan masalah ‘urf.

E.     Hukum Dapat Berubah karena Perubahan ‘Urf
            Hukum-hukum yang berdasarkan ‘urf itu sendiri dapat berubah menurut perubahan ‘urf pada suatu masa atau perubahan lingkungan.[9] Oleh para fuqaha’ mengatakan mengenai perbedaan-perbedaan yang timbul dalam masalah fiqh, merupakan perbedaan yang terjadi disebabkan perbedaan ‘urf, bukannya perbedaan hujjah atau dalil yang lainnya.
            Sebagai contoh di dalam mazhab Syafi’i dikenal adanya qaul qadim dan qaul jadid Imam Syafi’i. Hal ini disebabkan perbedaan ‘urf di lingkungan tempat tinggal Imam Syafi’I sendiri.
            Dalam konteks ini dikenal kaidah yang menyebutkan :
الحُكْمُ يَتَغَيَّرُ بِتَغَيُّرِ الأَزْمِنَةِ وَالأَمْكِنَةِ وَالأَحْوَالِ وَالأَشْخَاصِ وَالبِيْئَاتِ
Suatu hukum brubah seiring dengan terjadinya perubahan waktu, tempat, keadaan, individu, dan lingkungan.
            Dengan demikian, pendapat yang mengatakan bahwa Islam adalah agama yang kaku serta ketinggalan zaman adalah salah. Islam berjalan seiring dengan perkembangannya zaman. Namun perlu diperhatikan bahwa hukum-hukum yang dapat berubah di sini terjadi pada hukum yang berdasarkan dalil zhanni. Dalam hukum yang berdasarkan dalil qath’i yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya maka tidak boleh ada perubahan, seperti perintah mengerjakan shalat, puasa, zakat, pengharaman riba, dan sebagainya.
            Hukum yang dapat berubah karena ‘urf ini dapat kita contohkan seperti pendapat Abu Hanifah bahwa kesaksian sesorang yang dhahirnya tidak fasik dapat dijadikan saksi, kecuali pada kasus hudud dan qisas. Akan tetapi, murid beliau Abu Yusuf menyatakan bahwa kesaksian baru dapat diterima setelah melakukan penyelidikan yang mendalam terhadap sifat-sifat saksi tersebut. Pendapat Imam Abu Hanifah sejalan dengan masanya karena pada umumnya akhlak dan agama masyarakat masih dipegang teguh dan terpelihara. Demikian pula halnya dengan pendapat Abu Yusuf sesuai dengan kondisi pada masanya, di mana masyarakat pada umumnya mulai mengalami kemerosotan agama dan akhlak.


BAB III
K E S I M P U L A N


            ‘Urf adalah segala sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia karena telah menjadi kebiasaan atau tradisi baik bersifat perkataan, perbuatan, atau dalam kaitannya meninggalkan perbuatan tertentu, sekaligus disebut adat.
            ‘Urf dapat dibagi atas beberapa bagian. Ditinjau dari segi sifatnya,’urf terbagi kepada ‘urf qauliy dan ‘urf ‘amaliy. Adapun ditinjau dari segi ruang lingkupnya, ‘urf terbagi kepada ‘urf ‘amm dan ‘urf khash. Selanjutnya ditinjau dari segi keabsahannya, ‘urf terbagi kepada ‘urf shahih dan ‘urf fasid.
           ‘Urf yang disepakati oleh seluruh ulama keberlakuannya adalah Al-‘urf ash-shahih al-‘amm al-muththarid (‘urf yang benar dan hukumnya berlaku secara umum), dengan syarat sebagai berikut:
-          Tidak bertentangan dengan nash syara’ yang bersifat qath’I, dan
-          Tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah syara’ yang bersifat prinsip.
            Kedudukan ‘urf sebagai sumber hukum dalam Islam ialah ‘urf dapat dijadikan sumber hukum atau dalil dalam Islam apabila ‘urf tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits.
            Suatu hukum yang dapat berubah disebabkan ‘urf dapat terjadi pada hukum-hukum yang berdasarkan dalil zhanni saja, sedangkan hukum-hukum seperti perintah shalat, puasa, zakat, larangan riba dan sebagainya yang berdasarkan dalil qath’i tidak dapat diganggu gugat.
  

DAFTAR PUSTAKA



1.      Dahlan, Dr. H. Abd. Rahman, M. A. 2010. Ushul Fiqh. Jakarta : Amza.
2.      Khalaf, Prof. Dr. Abdul Wahab. 1997. Ilmu Ushulul Fiqh. Bandung : Gema Risalah Press.
3.      Al-Qardhawi, Dr. Yusuf. 2007. Keluasan dan Keluwesan Hukum Islam. Semarang : Disa Utama Semarang.
4.      http://darul-ulum.blogspot.com/2007/04/adat-dan-urf.html, diakses pada tanggal 1 Oktober 2010


[1]Dahlan, Dr. H. Abd. Rahman, M. A. 2010. Ushul Fiqh. Jakarta : Amza, hal. 209
[2]Khalaf, Prof. Dr. Abdul Wahab. 1997. Ilmu Ushulul Fiqh. Bandung : Gema Risalah Press, hal. 149
[3]Dahlan, Dr. H. Abd. Rahman, M. A. 2010. Ushul Fiqh. Jakarta : Amza, hal. 210
[4]Adakalanya ‘urf khash dapat berubah menjadi ‘urf ‘amm, hal ini terjadi dikarenakan perkembangan masyarakat dan perubahan zaman. Di mana kebiasaan suatu masyarakat tertentu, diambil atau diadaptasi oleh masyarakat lain sehingga menjadi suatu kebiasaan yang berlaku secara umum. Apalagi di era globalisasi seperti saat ini (peny-).
[5]Al-Qardhawi, Dr. Yusuf. 2007. Keluasan danKeluwesan Hukum Islam. Semarang : Disa Utama Semarang, hal 149
[6]Ibid, hal. 150
[7]Dahlan, Dr. H. Abd. Rahman, M. A. 2010. Ushul Fiqh. Jakarta : Amza, hal. 212
[9]Al-Qardhawi, Dr. Yusuf. 2007. Keluasan danKeluwesan Hukum Islam. Semarang : Disa Utama Semarang, hal 152

Islam Dan Perdamaian



BAB I
PENDAHULUAN
Perdamaian merupakan hal yang esensial dalam kehidupan manusia, karena dalam kedamaian itu terciptanya dinamika yang sehat, harmonis dan humanis dalam setiap interaksi antar sesama. Dalam suasana aman dan damai, manusia akan hidup dengan penuh ketenangan dan kegembiraan juga bisa melaksanakan kewajiban dalam bingkai perdamaian. Oleh karena itu, kedamaian merupakan hak mutlak setiap individu sesuai dengan entitasnya sebagai makhluk yang mengemban tugas sebagai pembawa amanah Tuhan untuk memakmurkan dunia ini. Bahkan kehadiran damai dalam kehidupan setiap mahluk merupakan tuntutan, karena dibalik ungkapan damai itu menyimpan keramahan, kelembutan, persaudaraan dan keadilan. Dari paradigma ini, Islam diturunkan oleh Allah SWT ke muka bumi dengan perantaraan seorang Nabi yang diutus kepada seluruh manusia untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam, dan bukan hanya untuk pengikut Muhammad semata. Firman Allah SWT dalam QS. al-‘Anbiyaa’ (21) : 107:
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Itulah misi dan tujuan diturunkannya Islam kepada manusia. Karena itu Islam diturunkan tidak untuk memelihara permusuhan atau menyebarkan dendam kesumat di antara umat manusia. Konsepsi dan fakta-fakta sejarah Islam menunjukan, bagaimana sikap tasamuh (toleran) dan kasih sayang kaum muslimin terhadap pemeluk agama lain, baik yang tergolong ke dalam ahli al-Kitab maupun kaum musyrik, bahkan terhadap seluruh makhluk, Islam mendahulukan sikap kasih sayang, keharmonian dan kedamaian.
Akan tetapi seringkali Islam dipandang oleh non-muslim sebagai agama kekerasan yang mengajarkan umatnya untuk berperang. Benarkah tudingan tersebut? Dan bagaimana ajaran Islam menjawab hubungan peperarangan dan perdamaian yang dikehendaki oleh Islam itu sendiri?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Islam
Dari segi bahasa, Islam masih berakar pada kata salam yang berarti tunduk, patuh, dan damai. Sedangkan menurut istilah, Islam adalah nama agama yang diturunkan Allah untuk membimbing manusia ke jalan yang benar dan sesuai fitrah kemanusiaan. Islam diturunkan bukan kepada Nabi Muhammad saw. saja, tapi diturunkan pula kepada seluruh nabi dan rasul. Sesungguhnya seluruh nabi dan rasul mengajarkan Islam kepada umatnya.
B. Pengertian Perdamaian
Damai memiliki banyak arti: arti kedamaian berubah sesuai dengan hubungannya dengan kalimat. Perdamaian dapat menunjuk ke persetujuan mengakhiri sebuah perang, atau ketiadaan perang, atau ke sebuah periode di mana sebuah angkatan bersenjata tidak memerangi musuh. Damai dapat juga berarti sebuah keadaan tenang, seperti yang umum di tempat-tempat yang terpencil, mengijinkan untuk tidur atau meditasi. Damai dapat juga menggambarkan keadaan emosi dalam diri dan akhirnya damai juga dapat berarti kombinasi dari definisi-definisi di atas.
Adapun damai yang dikehendaki dalam Islam meliputi kedua pengertian di atas.
C. Konsep Dasar Perdamaian dalam Islam
Agama Islam yang disebarkan dan diajarkan oleh Nabi Muhammad saw merupakan agama yang ditujukan demi kesejahteraan dan keselamatan seluruh umat sekalian alam.
Nabi Muhammad Saw pembawa risalah Islam, adalah juga pembawa bendera damai, kebaikan dan kebajikan kepada umat manusia. Beliau bersabda tentang dirinya:
Islam merupakan agama yang menjanjikan keselamatan dan kesejahteraan. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt:

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiya (21) : 107).
D. Ajaran Islam Mewujudkan Perdamaian
Ajaran Islam berisikan banyak perintah supaya menyelesaikan pertikaian di antara masyarakat dan bangsa dengan maksud membangun kedamaian.[1] Bahakan pada dasarnya semua ajaran Islam yang dibawakan oleh Nabi Muhammad Saw itu bertujuan untuk mewujudkan perdamaian[2], penulis hanya mencantumkan beberapa di antaranya dan membaginya kepada dua ruang lingkup, ajaran Islam yang berkaitan dengan individu dan ajaran Islam yang berkaitan dengan negara/politik.
1. Islam dan Perdamaian dalam ruang lingkup antar individu dan masyarakat
Ajaran Islam dalam ruang lingkup ini wajib diamalkan oleh seluruh kaum muslimin tidak terkecuali, di antaranya:
a. Melindungi hak untuk hidup[3]
Yang paling sederhana adalah dijaminnya hak manusia untuk hidup. Hak ini sebelum Islam tidak diakui untuk semua manusia. Di masa Jahiliyyah bayi perempuan dikuburkan hidup-hidup, budak dapat diperlakukan sekehendak hati termasuk dibunuh, dan lain-lain.
Adapun Islam, melindungi hak hidup. Islam melarang membunuh orang lain tanpa alasan yang benar, serta melarang juga bunuh diri. Islam sangat menghargai jiwa seseorang, untuk itu diberlakukanlah hukum Qishas. Di mana apabila seseorang membunuh orang lain tanpa alasan yang benar, maka ia harus mengganti dengan nyawanya sendiri.
Dari dulu sampai sekarang, pembunuhan tanpa disertai dengan hukum yang jelas, berbuah kepada konflik. Baik itu konflik yang melibatkan satu dua orang, maupun konflik yang meluas sehingga mengakibatkan peperangan antar kelompok, bahkan antar negara. Jadi, dengan adanya kepastian hukum di dalam Islam dalam menjamin hak hidup seseorang ini, secara tidak langsung sangat berpengaruh pada terciptanya perdamaian dan kelangsungan hidup umat manusia.
b. Memerintahkan untuk Adil[4]
Selanjutnya keadilan dinilai sangat penting dalam mewujudkan kondisi yang aman, tentram, dan damai. Banyak peperangan, pertengkaran dan konflik terjadi dikarenakan ketidak adilan satu pihak dalam memperlakukan pihak lainnya. Maka Islam menyeru setiap individu muslim untuk memperlakukan semua manusia, termasuk non-muslim, dengan adil.
Di Indonesia sendiri pernah terjadi lebih kurang 15 kali pemberontakan, menurut mantan wakil presiden Jusuf Kalla dari 15 konflik itu 10 kasus terjadi karena adanya ketidakadilan.[5]
c. Menghapus kelas-kelas sosial[6]
Pada masa Jahiliyyah, kekerasaan yang dilakukan oleh golongan yang lebih kuat terhadap golongan yang lebih lemah adalah hal yang biasa. Islam datang dengan menghapus kesenjangan sosial tersebut, membebaskan manusia dari perbudakan sesama, dan menghargai hak-hak setiap individu.
Di Eropa pernah berkali-kali terjadi pemberontakan budak, ketika itu para budak diperlakukan sesuka hati dan tidak mempunyai hak apapun kecuali menuruti Tuannya. Terdapat bukti dokumenter lebih dari 250 pemberontakan atau percobaan huru-hara yang melibatkan 10 orang budak atau lebih. 3 dari yang paling dikenal adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Gabriel Prosser di Virginia pada tahun 1800, Denmark Vesey di Charleston, South Carolina pada tahun 1822, dan Nathaniel Turner di Southampton County, Virginia, pada tahun 1831.[7] Sedangkan dalam Khazanah Islam, pemberontakan budak demi menuntut persamaan hak tidak pernah terjadi. Hal itu dikarenakan Islam telah terlebih dahulu menjamin hak semua orang walaupun ia berstatus budak. Ini juga merupakan bahagian daripada keadilan yang dianjurkan oleh Islam.
Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ إِخْوَانَكُمْ خَوَلُكُمْ جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ فَمَنْ كَانَ أَخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ وَلَا تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ فَأَعِينُوهُمْ
”Mereka (para budak) adalah saudara dan pembantu kalian yang Allah jadikan di bawah kekuasaan kalian, maka barang siapa yang memiliki saudara yang ada dibawah kekuasaannya, hendaklah dia memberikan kepada saudaranya makanan seperti yang ia makan, pakaian seperti yang ia pakai. Dan janganlah kamu membebani mereka dengan pekerjaan yang memberatkan mereka. Jika kamu membebani mereka dengan pekerjaan yang berat, hendaklah kamu membantu mereka. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Baihaqi, dan Ahmad)[8]
d. Mengenalkan konsep persaudaraan universal[9]
Jika budak saja diperlakukan sebagai saudara, maka bagaimana sikap Islam dengan orang-orang yang merdeka? Islam mengajarkan konsep persaudaraan yang tidak hanya dibatasi oleh keturunan, suku ataupun bangsa.
Semua Umat Islam dipersaudarakan oleh satu keyakinan kepada Tuhan, dengan tujuan agar mereka dapat saling menjaga dan mencintai sesamanya. Namun sayangnya, tidak dapat dipungkiri banyak muslim yang melupakan konsep ini, sehingga seringkali pecah konflik antar sesama, baik konflik militer maupun pemikiran.
Antara yang satu dengan yang lainnya saling menyalahkan pada hal-hal yang furu’iyah, membenarkan diri pribadi dan yang terparah adalah menumbuhkan benih-benih kebencian terhadap muslim lainnya. Kenyataan lainnya yang tidak dapat dipungkiri pula dewasa ini adalah sikap acuh tidak acuhnya sebagian kaum muslim terhadap penderitaan sebagian muslim lainnya.
Padahal pada masa awal-awal Islam, Rasulullah Saw sangat menekankan prinsip persaudaraan antara sesama muslim, begitu pula dengan para khulafaur rasyidin. Setiap individu dan kelompok menahan diri daripada ambisi pribadi dan sebagainya demi persatuan umat. Seiring dengan berjalannya waktu, pengamalan daripada prinsip dasar Islam ini semakin menipis, dan menimbulkan banyak perpecahan serta konfilk.
Selain persaudaraan yang dilandasi oleh keyakinan, Islam juga mengenalkan persaudaraan yang lebih universal, yakni seluruh manusia itu pada dasarnya satu, berasal dari nenek moyang yang sama, yakni Adam as. Oleh karena itu Islam tetap menjunjung hak asasi orang yang bukan Islam sebagai manusia, tidak menganiaya mereka, toleransi dan berlaku adil terhadap mereka.
Islam tidak pernah memaksakan pemeluk agama lain untuk pindah agama, Allah menjelaskan ini dalam firmannya:


“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam) ....” (QS. Al-Baqarah (2) : 256)
2. Islam dan Perdamaian dalam ruang lingkup antar negara
Ajaran Islam dalam ruang lingkup ini memberi petunjuk mengenai tindakan yang dapat diambil oleh pemerintah Islam untuk menjaga perdamaian antara negara Islam dengan negara non-Islam dan negara Islam dengan negara Islam lainnya, beberapa di antaranya yang kami kami ketahui ialah sebagai berikut:
a. Mengadakan Hubungan Diplomasi
Yang sekarang dikenal sebagai diplomasi adalah sebuah tradisi yang dikenal dan dilaksanakan oleh semua golongan manusia, dulu dan sekarang. Golongan-golongan pada masa dahulu mengutus utusan atau dutanya ke golongan lain dalam urusan-urusan tertentu seperti menyampaikan bela sungkawa, menyampaikan selamat, atau persiapan perundingan pernikahan raja, untuk membawa hadiah, atau untuk mengadakan musyawarah dan negosiasi. Tugas utusan dan duta tersebut adalah tugas periodik yang berakhir bersamaan dengan berakhirnya masalah.[10]
Nabi Muhammad SAW, khulafaurrasyidin, dan para pemimpin islam juga mengikuti tradisi ini dalam mengutus utusan ke negara-negara lain untuk menyebarkan dakwah, mengadakan perjanjian, ataupun merundingkan perdamaian.
b. Menghormati Perjanjian Antar Negara[11]
Syariat Islam menetapkan prinsip menghormati perjanjian antar negara dan berpegang pada isinya. Menepati janji dalam Islam adalah dasar pertemuan antar individu, golongan dan negara yang secara sadar, saling menolong, dan saling percaya. Islam berpegang teguh untuk menepati janji dan meganggapnya sebagai hal yang wajib, yang tidak bisa ditinggalkan untuk memperkuat hubungan antar manusia.[12]
Rasulullah Saw sendiri pernah melakukan perjanjian Hudaibiyah, yakni perjanjian genjatan senjata dengan kaum musyrikin Quraisy, di mana para sahabat menilai perjanjian itu merugikan pihak Islam sehingga mereka meminta Rasulullah membatalkan perjanjian. Akan tetapi Rasulullah dengan tegas menolak saran tersebut, dan memerintahkan umat Islam untuk tetap melaksanakan isi perjanjian itu. Peristiwa ini menjadi pelajaran bagi generasi-generasi Islam selanjutnya, bahwasanya Islam tidak pernah mengajarkan umatnya untuk berkhianat terhadap janji yang sudah disepakati.
E. Antara Peperangan dan Perdamaian dalam Islam
Orientalis sering memandang Islam dari aspek negatif. Islam dianggap sebagai agama pedang, agama yang penuh dengan kekerasan dan umatnya suka berperang. Padahal konsep perang dalam Islam hanya sebatas mempertahankan diri dari ancaman dari luar. Untuk itu, terkadang Islam menempatkan umatnya pada posisi bertahan, yakni baru berperang apabila ada musuh yang menyerang. Terkadang pula Islam menempatkan umatnya pada posisi menyerang, yakni lebih dulu menyerang lawan yang telah diyakini memiliki tujuan untuk menghancurkan Islam.
Dr. Samir Aliyah menyebutkan bahwa konsep perdamaian dalam Islam adalah seseorang muslim tidak boleh mengharapkan terjadinya perang atau mengajak perang, bahkan kepada musuh.[13] Musuh yang dimaksudkan di sini adalah kaum musyrikin. Beliau juga mengutip pendapat Dr. Hamid Sulthan, pengarang kitab Ahkam al-Qanun ad-Dauli fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah, bahwa perang dalam Islam adalah keadaan darurat yang mengharuskan membela diri secara syar’i.
Nabi Muhammad Saw. bersabda: “Janganlah kamu berharap bertemu dengan musuh dan memohonlah keselamatan kepada Allah. Apabila kamu bertemu dengan mereka maka bersabarlah.” (HR. Muslim)
Islam juga merupakan agama yang memiliki konsep akan penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah SWT, Allah Yang Maha Esa, dengan panduan al-Quran dan as-Sunnah. Kedamaian dan kesejahteraan umat adalah dasar utama yang diajarkan dalam Islam. Oleh karena itu, pembunuhan, permusuhan, dan perpecahan tanpa alasan yang kuat bukanlah ajaran yang berasal dari agama Islam. Bahkan dalam menyeru manusia kepada Islam, Umat Islam diperintahkan untuk berdakwah dengan jalan yang baik, bukan dengan kekerasan. Hal ini ditegaskan pula dalam Firman Allah Swt:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik...” (QS. An Nahl (16) : 125).
Dan dalam ayat yang lainnya:

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka.....” (QS. Ali Imran (3) : 159)

Islam tidak pernah keluar dari dasar ini, yakni perdamaian, kecuali permusuhan yang dimulai dari pihak lain yang mengancam eksistensinya, dalam hal ini dipandang sebagai usaha untuk mempertahankan mempertahankan diri.
Allah Swt berfirman:

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.” (QS. Al-Hajj (22) : 39).
Namun dalam keadaan perang pun, Islam masih tetap menjaga fungsinya sebagai agama rahmatal lil ‘alamin, dalam hal ini Allah Swt berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 190:

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah (2) : 190).
Bahkan apabila musuh berhenti memerangi atau condong kepada perdamaian, maka umat Islam diperintahkan untuk menerima perdamaian mereka. Hal ini dapat dilihat pada QS. Al-Anfal (8) : 61 dan QS. An-Nisa’ (4) : 90.
Demikianlah pembahasan mengenai hubungan agama Islam dengan perdamaian.

BAB III
KESIMPULAN
1. Islam sendiri berasal dari kata salam yang berarti damai, adapun damai dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang aman dan tenang.
2. Sesuai dengan arti katanya, maka ajaran Islam itu condong ke arah perdamaian.
3. Pada dasarnya semua ajaran Islam itu bertujuan mewujudkan kedamaian hidup manusia.
4. Tudingan orientalis bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan kekerasan itu tidak benar. Islam dengan jelas mengatur konsep peperangan sebagai wujud dari mempertahankan diri, dan dengan lapang hati menerima perdamaian.

DAFTAR PUSTAKA
Al- Quranul Karim
Seyyed Hossein Nasr. Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan. (2003). Bandung: Mizan
Samir Aliyah. Sistem Pemerintahan, Peradilan & Adat dalam Islam. (2004) Jakarta: Khalifa
Wikipedia. Pemberontakan budak. http://id.wikipedia.org/ (diakses pada tanggal 3 Desember 2011)
Jusuf Kalla. Konflik Sosial Terjadi Karena Ketidakadilan. http://www.pikiran-rakyat.com. (diakses pada tanggal 3 Desember 2011)
Abdullah Ali Bassam dan Abu Bakar al-Jazairi. Sikap Islam terhadap Perbudakan. http://almanhaj.or.id (diakses pada tanggal 3 Desember 2011)


[1] Seyyed Hossein Nasr. Pesan-Pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan. (2003). Bandung: Mizan, hal 265
[2] QS. Al-Anbiya (21) : 107
[3] QS. Al- Isra’ (17) : 33, QS. Al-Maidah (5) :32, QS. An-Nisa’ (4) : 29, QS. Al-Baqarah (2) :
[4] QS. An-Nahl (16) : 90, QS. Al-Maidah (5) : 8, QS. Al-Hujurat (49) : 9, QS. Al-Mumtahanah (60) : 8, QS. Asy-Syuraa (42) : 15, dll.
[5] Jusuf Kalla. Konflik Sosial Terjadi Karena Ketidakadilan. http://www.pikiran-rakyat.com. (diakses pada tanggal 3 Desember 2011)
[6] QS. Al-Hujurat (49) : 13
[7] Wikipedia. Pemberontakan budak. http://id.wikipedia.org/ (diakses pada tanggal 3 Desember 2011)
[8] Abdullah Ali Bassam dan Abu Bakar al-Jazairi. Sikap Islam terhadap Perbudakan. http://almanhaj.or.id (diakses pada tanggal 3 Desember 2011)
[9] QS. Al Hujurat (49) : 10 dan QS. Al-Baqarah : 213
[10] Samir Aliyah. Sistem Pemerintahan...., hal 230
[11] QS. An-Nahl (16) : 91 dan 94, QS. Al-Israa’ (17) : 34, QS. Al-Maidah (5) : 1, QS. At-Taubah (9) : 4
[12] Samir Aliyah. Sistem Pemerintahan...., hal 240
[13] Samir Aliyah. Sistem Pemerintahan, Peradilan & Adat dalam Islam. (2004) Jakarta: Khalifa, hal 249