Tuesday, 8 September 2009

Ramadhan, Tarawih, dan Budaya Masyarakat

Setiap kali datangnya bulan Ramadhan yang penuh berkah, disambut dengan penuh suka-cita. Bagi sebagian anak-anak sekolahan, bulan ramadhan berarti liburan dan harus disambut dengan kegembiraan. Walau kenyataannya sekarang ini, banyak sekolah-sekolah di Aceh, terutama sekolah-sekolah asrama, tetap melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Sebagian masyarakat menentang aktifitas belajar mengajar dilaksanakan di dalam bulan ramadhan hanya dengan alasan ramadhan adalah bulan mulia, dan kita semua harus mengisinya dengan ibadah.
Apakah belajar mengajar itu bukanlah salah satu bentuk dari ibadah? Pernah Rasulullah SAW memasuki mesjid dan beliau mendapati dua buah kelompok, salah satu kelompok tersebut sedang tekun beribadah, dan kelompok lainnya sedang membahas ilmu pengetahuan. Ternyata Rasulullah SAW bergabung bersama kelompok yang kedua ini.
Dewasa ini, masyarakat Aceh terus mengalami kemerosotan. Pendidikan yang semakin tidak dipedulikan oleh setiap individunya tidak hanya menyebabkan kehancuran dalam akhlak dan moral, bahkan mencakup dalam segala aspek masyarakat sehingga kemiskinan di segala bidang pun meraja lela. Harus diakui bahwa pemerintah sedang membangun dan merekontruksi Aceh setelah konflik yang berkepanjangan dan bencana alam tsunami yang tentu saja merupakan peringatan bagi kita semua. Akan tetapi pembangunan yang telah berlangsung sekitar 4 tahun ini tidak diimbangi oleh peningkatan pendidikan yang seharusnya menjadi prioritas utama selain kemakmuran rakyat aceh itu sendiri yang dapat dicapai melalui pendidikan.
Kembali pada bulan ramadhan, di mana di setiap malamnya dan di setiap mesjid atau meunasah dipenuhi oleh kaum musilimin dari kalangan tua sampai kalangan muda untuk melaksanakan salah satu ibadah sunat yang hanya terdapat dalam bulan Ramadhan. Baik kaum adam maupun kaum hawa berduyun-duyun dengan penuh semangat menyambut seruan sang muazin, jikalau ada yang tidak pergi maka ia tidak berani duduk-duduk nongkrong di warung kopi (memang karena warung kopinya tutup, hehe). Shalat tarawih berjama’ah bagaikan magnet yang menarik dan menggugah semangat kaum muslimin.
Akan tetapi jika ditanyakan apa alasan mereka dengan penuh semangat pergi ke mesjid atau meunasah, kita akan mendapat jawaban yang berbeda-beda, bahkan tidak pernah kita duga sama sekali. Sebagian besar menjawab karena shalat berjama’ah lebih berpahala dibandingkan shalat sendirian di rumah, ada pula yang menyatakan bahwa shalat di tempat-tempat ibadah dapat mendatangkan kekhusyukan dalam pelaksanaannya. Sebagian yang lain, terutama dari kalangan muda, menyatakan ikut shalat tarawih karena ikut-ikutan, malu dengan kawan-kawan jika tidak ikut shalat tarawih berjama’ah atau bahkan karena paksaan orang tua. Alasan-alasan yang dikemukakan tersebut memang benar, shalat tarawih yang dilaksanakan secara berjama’ah benar-benar mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Aceh itu sendiri, sehingga orang yang kedapatan meninggalkan shalat tarawih berjama’ah dengan terang-terangan akan mendapat cemohan daripada masyarakat. Paradigma ini telah ditanamkan kepada kita sejak kecil, tapi terkadang tanpa alasan yang jelas.
Namun, semangat yang mengebu-gebu untuk melaksanakan ibadah shalat tarawih ini biasanya tidak berlangsung lama. Beberapa hari setelah menjalani ibadah dalam bulan ramadhan, maka akan terlihat kemunduran-kemunduran yang berangsur-angsur. Saf-saf shalat tarawih berjama’ah akan berkurang sedikit demi sedikit, sampai 60 % dibandingkan pada malam-malam di awal Ramadhan. Akan tetapi pada malam-malam terakhir daripada Ramadhan, saf-saf yang tadinya kosong akan dipenuhi oleh para jama’ah kembali. Aneh tapi nyata.
Demikian pula dengan banyak ibadah lainnya, banyak dari masyarakat Aceh terlalu memfokuskan ibadah hanya pada bulan ini. Sedangkan pada bulan lain, ibadah-ibadah yang dikerjakannya selama bulan Ramadhan terkadang hilang tak membekas. Jikalau di bulan Ramadhan shalat tarawih yang merupakan ibadah sunat dilakukan secara berjama’ah, bagaimana dengan shalat wajib itu sendiri? Pernahkah kita melihat dan memikirkan kenjanggalan ini? Bukankah Rasulullah SAW sendiri sangat menganjurkan shalat wajib dilaksanakan secara berjama’ah. Shalat wajib yang dilakukan berjama’ah hukumnya mendekati kewajiban. Sedangkan shalat sunat, pada dasarnya Rasulullah SAW menganjurkan untuk shalat di rumah saja. Mengapa masyarakat Aceh dewasa ini lebih mengutamakan yang sunat dari pada kewajiban? Mengapa tidak ditanamkan pula akan pentingnya shalat wajib yang dilaksanakan secara berjama’ah kepada kita sejak kecil? Beginikah budaya masyarakat yang bangga dengan julukan Serambi Mekkah ini?
Di bulan Ramadhan sajakah ayat-ayat suci al-Quran dilantunkan untuk menghidupkan malam? Bagaimana dengan bulan-bulan yang lain? Pelita yang telah susah payah kita hidupkan di bulan suci ini padam begitu saja setelah pelaksanaan shalat idul Fitri. Mesjid dan meunasah akan kembali menjadi sepi ditinggalkan begitu saja, kecuali oleh orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah Swt. Tidak akan pernah terdengar lagi lantunan ayat-ayat suci al-Quran untuk menghidupkan malam, hanya nyanyian tasbih daripada binatang-binatang malam.
Ya Allah, berikanlah kami kekuatan, kesabaran, dan ketekunan untuk melaksanakan segala perintahmu. Hanya kepada-Mu kami menyembah dan memohon pertolongan. Tunjukilah kami dan saudara-saudara kami akan jalan lurus-Mu. Amin.


Ulee Reuleung, 27 August 2009
By : Aba, Syukri
The 3rd year student of MAN 1 Kruenggeukueh

No comments: